Bahaya Pak Jokowi, RI Bakal Terjerat Deindustrialisasi!

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
16 February 2023 13:00
ABB meresmikan fasilitas manufaktur baru yang memproduksi Gas Insulated Switchgear (GIS) tegangan tinggi di Tangerang. Fasilitas ini dibangun untuk memenuhi peningkatan permintaan pasokan listrik di Indonesia. (dok. ABB Indonesia)
Foto: Suasana pabrik yang memproduksi Gas Insulated Switchgear (GIS) tegangan tinggi di Tangerang. (dok. ABB Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Seiring pesatnya perkembangan teknologi dan otomasi, suka tidak suka, Indonesia sedang mengalami gejala deindustrialisasi.

Deindustrialisasi adalah suatu kondisi dimana industri tidak dapat lagi berperan sebagai basis pendorong utama perekonomian suatu negara atau dengan kata lain kontribusi sektor ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional terus mengalami penurunan.

Berbagai indikator menunjukkan, deindustrialisasi sedang terjadi di Indonesia. Peran sektor manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) terus menurun sejak tahun 2010.

Sebagai perbandingan, pada tahun 2008, kontribusi sektor pengolahan terhadap PDB nasional masih mencapai 27,8%.

Kontribusinya mulai anjlok ke angka 22% pada tahun 2010. Lalu, tahun 2020 peranannya menurun ke level 19,8%. Kemudian, pada 2022 kontribusi manufaktur terhadap PDB nasional merosot hanya 18,3%.

Ekonom Senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri menilai, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah gagal mendorong industrialisasi di Indonesia.

Faisal menegaskan Presiden Jokowi gagal membangun industrialisasi karena terlalu berfokus pada pembangunan fisik dan minimnya upaya mendorong dana perbankan agar mengalir deras untuk industri.

Padahal, nilai investasi di Indonesia terbilang tinggi dibandingkan negara-negara lain. Sayangnya, dia melihat investasi tersebut tidak dikelola dengan baik.

Belum lagi mayoritas diperuntukkan untuk sektor konstruksi berupa bangunan, kantor, mall dan lain sebagainya yang tidak berdampak pada sisi produksi. Di sisi lain, investasi terhadap mesin dan peralatan hanya 10-11% saja dari total investasi keseluruhan.

Faisal menilai kondisi ini menunjukkan bahwa investasi di Tanah Air tidak berkualitas dan tidak memberikan dampak masif terhadap PDB.

"Penggunaan investasi di Indonesia itu sudah boros, nggak bermutu," jelasnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (16/2/2023).

Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) mayoritas diarahkan untuk bangunan, entah itu perkantoran, mall, dan sebagainya. "Bangunan ini misalnya mall, itu makin banyak menjual barang impor," ujarnya lagi.

Sehingga, investasi di bangunan untuk memperlancar barang impor masuk, manfaatnya ke perekonomian menjadi sangat kecil. Sementara seharusnya, yang bisa menghasilan manfaat besar, adalah investasi dalam bentuk mesin dan peralatan.

"Itu namanya industri, tapi tengok berapa sehingga bisa menghasilkan berbagai jenis barang yang nyata 10-11% aja," lanjutnya.

Faisal menilai, pemerintahan Jokowi tidak mendorong terjadinya percepatan industrialisasi melainkan hanya berfokus pada penyelesaian proyek-proyek infrastruktur. Itulah kemudian yang menyebabkan rendahnya fasilitas dan modal industri di Indonesia.

"Pak Jokowi tidak meminta percepatan industrialisasi enggak, tapi semua proyek infrastruktur kelar sebelum dirinya lengser, jadi bangunan lagi kan. Pokoknya harus kelar, gitu," kritik Faisal.

"Industri memble bodo amat makanya Pak jokowi jarang sekali berbicara tentang visi industri, jarang, yang dia bicara adalah hilirisasi," ujarnya lagi.

Adapun, pernyataan Faisal ini terkait dengan permintaan Presiden beberapa waktu lalu agar jajarannya segera merampungkan proyek infrastruktur sebelum 2024, termasuk proyek ibu kota negara (IKN).

Selain itu, dia menuturkan penyebab kegagalan industrialisasi era Jokowi karena adalah enggannya perbankan menyalurkan kredit ke sektor produksi barang.

Salah satu sektor jasa yang berkembang yakni perbankan, namun sayangnya sektor ini justru menyalurkan kembali jasanya pada jasa keuangan. Oleh karena itu, permodalan industri tidak berkembang.

Kenyataanya, bank malah justru membantu menopang keuangan negara dengan menjadi pemain terbesar dalam pembelian surat utang negara ketimbang menyalurkan kredit ke masyarakat. Akibatnya

Faisal pun menunjukkan data bahwa pembelian surat utang pemerintah oleh bank semakin meningkat sejak sebelum pandemi, tepatnya pada 2019. Jumlahnya mencapai sepertiga dari total surat utang yang beredar.

"Sebanyak 31,4% (2022) jadi hampir sepertiga surat utang pemerintah itu dibeli oleh bank boro-boro menyalurkan kredit apalagi nyalurin kredit ke industri ogah," tegasnya.

Kondisi ini semakin memperparah proporsi ekonomi yang mana separuh utang pemerintah diisi oleh bank sentral dan perbankan.

"Jadi dari jasa ke jasa kan, jasa keuangan ke jasa keuangan, nah mengkonfirmasi kualitas pertumbuhan kita. Menurut saya enggak salah sepenuhnya bank tapi salahnya pemerintah," ujar Faisal.

Baru beberapa bulan terakhir, Jokowi mengingatkan perbankan untuk mau menyalurkan kredit bagi sektor industri, terutama yang terkait dengan hilirisasi.

Jokowi meminta dunia perbankan untuk mendukung dan mengawal kebijakan hilirisasi industri yang dilakukan pemerintah.

Dia pun berharap kalangan perbankan tidak mempersulit pemberian kredit untuk usaha yang mendukung hilirisasi ini karena memberikan keuntungan yang jelas bagi negara dan juga perusahaan pemberi kredit.

Jokowi sendiri meyakini konsistensi dalam melakukan hilirisasi adalah kunci yang akan menjadikan Indonesia sebagai negara maju.

Oleh karena itu, dia selalu mengingatkan jajarannya untuk melanjutkan kebijakan hilirisasi meskipun mendapatkan tantangan dari negara-negara lain.


(cap/cap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Eropa Hadapi "Kiamat" Baru: Deindustrialisasi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular