Ketua Banggar DPR Dorong Penguatan Investasi Lewat DHE

Khoirul Anam, CNBC Indonesia
Rabu, 15/02/2023 21:02 WIB
Foto: Dok DPR RI

Jakarta, CNBC Indonesia- Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah mengungkapkan kierja ekspor Indonesia di 2022 sangat menggembirakan. Ia mencatat, secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia dari Januari sampai Desember 2022 mencapai USD 291,98 miliar atau naik 26,07% dibanding tahun 2021.

Moncernya kinerja ekspor ini meneguhkan posisi necara perdagangan Indonesia surplus 33 bulan bila dihitung hingga Januari 2023.

"Neraca perdagangan Indonesia pada 2022 mencatatkan surplus tertinggi dalam sejarah, yakni sebesar US$ 54,46 miliar, dan di Januari 2023 masih surplus US$ 3,87 miliar. Harusnya surplus perdagangan internasional ini menyumbang devisa yang dicatatkan oleh Bank Indonesia. Pada Desember 2022 posisi cadangan devisa (cadev) mencapai US$ 137,2 miliar. Bila dibandingkan Januari 2022, cadev sedikit meningkat US$ 2,2 miliar ke posisi US$ 139,4 miliar," jelas dia dikutip dari keterangan tertulis, Rabu (15/2/2023).


Dari basis komparasi tersebut, terlihat perbedaan jumlah surplus perdagangan dengan posisi cadev. Di mana posisi cadev lebih rendah dengan yang didapat dari neraca perdagangan.

"Padahal kalau ditambahkan besaran penarikan pembiayaan baik dari SBN maupun pinjaman luar negeri, harusnya posisi cadev lebih lebih besar dari nilai surplus neraca perdagangan," imbuhnya.

Dikatakan Said, situasi ini menggambarkan surplus neraca perdagangan tidak menjelma menjadi kue ekonomi yang nyata di dalam negeri dan dialami berulang kali. Padahal sejak 10 Januari 2019 pemerintah telah memberlakukan Peraturan Pemerintah No 1 tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor Dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam.

Di samping itu, Bank Indonesia (BI) telah menyempurnakan Peraturan BI sebelumnya tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) melalui PBI No 24/18/PBI/2022 tentang DHE dan Devisa Pembayaran Impor.

"Kedua belied di atas mewajibkan pelaku ekspor Sumber Daya Alam (SDA) yang menerima DHE untuk menempatkan dananya ke Rekening Khusus (Reksus) paling lambat akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran pemberitahuan pabean ekspor. Termasuk mewajibkan eksportir untuk memindahkan escrow account jika terlanjur membuat escrow account di luar negeri dengan diberikan tenggat waktu paling lama 90 hari sejak 10 Januari 2019," katanya.

Namun, Said melanjutkan kedua peraturan ini belum berjalan secara efektif. Karena itu, aturan terkait DHE SDA tidak cukup sekadar dicatatkan, dan penggunaannya diawasi untuk kebutuhan transaksi perdagangan internasional.

"Apalagi oleh BI hal itu tidak dikategorikan sebagai Dana Pihak Ketiga (DPK) yang menjadi acuan penghitung kewajiban bank dalam memenuhi Giro Wajib Minimum (GWM), dan lain-lain. Jika pengaturannya hanya seperti ini, ekonomi dalam negeri tidak mendapatkan manfaat optimal atas penempatan DHE di perbankan nasional, selain penerimaan perpajakan atas bunga DHE di reksus," kata Said.

Menurut dia, BI semestinya tidak meletakkan DHE SDA sebagai 'lahan parkir' istimewa yang tidak memberi manfaat banyak bagi keuangan domestik. Hal ini dilakukan agar memiliki manfaat finansial dan tanggung jawab perbankan lebih mengikat.

"Sebaiknya DHE SDA yang berada di reksus dihitung sebagai acuan untuk menilai GWM dan rasio intermediasi prudential dari bank penerima," katanya.

Lebih lanjut, Said mengatakan pembayaran yang diterima oleh eksportir dalam bentuk DHE seharusnya dicatatkan sebagai pendapatan usaha oleh perusahaan eksportir. Meskipun tidak semua, setidaknya ada peluang besar bagi pemerintah dan BI untuk mendorong DHE SDA menjadi alternatif sumber investasi dalam negeri, terutama terhadap sektor prioritas yang menjadi perhatian pemerintah.

"Jika pemerintah bisa memberikan penawaran yang menarik, khususnya peluang peluang investasi baru yang menjanjikan, dan imbal hasil menarik, seharusnya pemilik DHE SDA tertarik untuk terlibat dalam penawaran tersebut. Oleh sebab itu pemerintah sebaiknya membuka menu investasi yang menarik buat mereka, seperti halnya pemerintah membuat penawaran pada skema repatriasi modal saat tax amnesty beberapa waktu lalu," bebernya.

Said juga menilai, ke depannya pemerintah perlu mengatur lebih lanjut devisa hasil ekspor non-sumber daya alam, seperti halnya pemerintah mengatur DHE SDA. Mengingat tidak semua hasil sumber daya alam bisa diperbaharui.

Sebagai informasi, pada tujuh tahun terakhir, remitansi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) per tahun minimal US$ 8,69 miliar per tahun. Capaian tertinggi kiriman remitansi TKI pada 2019 mencapai US$ 11,44 miliar atau lebih dari Rp 160 triliun.

Dia menilai, devisa yang dihasilkan TKI akan semakin besar sumbangannya bila TKI bisa merambah ke sektor yang skillfull dan high tech. Sektor ini, kata Said, perlu dipikirkan oleh pemerintah.

Said juga mengatakan pemerintah perlu mengorkestrasi melalui berbagai perkumpulan TKI untuk masuk serta melakukan investasi pada sektor sektor produktif yang menjanjikan imbal hasil yang logis, legal, dan berkelanjutan. Langkah ini menguntungkan semua pihak.

Selain TKI, kata Said, dunia digital dan sektor kreatif akan menjadi prospek masa depan devisa Indonesia. Meskipun bukan yang terdepan, sektor jasa teknologi informasi dalam bentuk web design, animasi, desain grafis, dari tangan tangan kreatif Indonesia tidak kalah diminati perusahaan internasional.


(dpu/dpu)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Cegah Konflik Rebutan Pulau, DPR Dorong Mediasi