
Pak Jokowi, Infrastruktur Jor-joran Tapi Ekonomi Kok Seret?

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejak menjabat penuh pada 2015 hingga 2022 atau tepatnya sewindu pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi, anggaran infrastruktur sudah menembus Rp 2.768,9 triliun.
Dari angka tersebut, ternyata anggaran infrastruktur menggelembung dari Rp 256,1 triliun pada 2015 menjadi Rp 363,8 triliun pada 2022. Bahkan, anggaran infrastruktur bahkan pernah menyentuh Rp 400an triliun pada 2018-2019 walaupun realisasinya di angka Rp 394 triliun.
Sayangnya anggaran besar ini tidak diikuti oleh efek terhadap ekonomi yang masif. Pertumbuhan ekonomi gagal mencapai janji Jokowi 7%. Tak sampai 7%, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) hanya mampu menembus 5,31% pada 2022, level tertinggi sejak 2013.
Padahal, bisa dilihat, infrastruktur yang dibangun di era Presiden Joko Widodo atau Jokowi merupakan infrastruktur kategori lengkap dari infrastruktur dasar hingga infrastruktur besar, contohnya Jalan Trans Papua, bendungan, megaproyek listrik 35.000 MW, hingga kereta cepat.
Lantas, apa yang membuat infrastruktur tersebut tidak memberikan amplifikasi ekonomi?
Setelah ditelusuri, ternyata Incremental Capital Output Ratio (ICOR) menjadi salah satu penyebab. Dikutip dari BPS, ICOR adalah rasio antara tambahan output dengan tambahan modal.
Jika suatu daerah mempunyai angka (koefisien) ICOR, maka daerah tidak akan menemui kesulitan dalam menentukan berapa besarnya investasi yang diperlukan untuk mengejar terget pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. Semakin kecil nilai koefisien ICOR, semakin efisien perekonomian suatu daerah pada periode waktu tertentu.
Direktur CELIOS Bhima Yudhistira menuturkan bahwa angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR) era Jokowi mencapai 6,2%-6,5%, sementara sebelumnya di era SBY angka ICOR berada di kisaran 4,5%.
"Itu menunjukkan investasi di era Jokowi ini makin boros, makin tidak efisien. Begitu presiden Jokowi buka karpet merah untuk investor, tapi ICOR nya tinggi maka investor akan hitung ulang semua perencanaan dan biaya," tegas Bhima kepada CNBC Indonesia, Jumat (10/2/2023).
Bahkan, Bhima menegaskan bahwa selama perang dagang AS vs China, investor lebih memilih merelokasi pabriknya ke Vietnam yang ICOR-nya hanya 4,6%. Hal ini dikarenakan ICOR Indonesia yang kelewat tinggi.
Bhima menambahkan ICOR tinggi kalau ditelusuri salah satunya karena biaya korupsi dan pungli yang mahal, birokrasi masih menghambat, produktivitas tenaga kerja hingga soal biaya logistik yang terbilang menguras kantong pelaku usaha.
"Selama tren Icor memburuk, era SBY jauh lebih ramah terhadap investor. Jadi pak SBY itu gak perlu bilang "please invest in my country", investor sudah paham sendiri soal hitungan biaya investasi dan risiko," paparnya.
Data ICOR Indonesia 2016-2022
- 2016: 6,73%
- 2017: 6,95%
- 2018: 6,72%
- 2019: 6,88%
- 2020:-15,09%
- 2021: 8,16%
- 2022: 6,2%
Sumber: BPS, diolah
Bahkan, Mantan Kepala Bappenas Bambang P.S. Brodjonegoro pernah mengungkapkan bahwa kenaikan ICOR Indonesia menggambarkan penggunaan kapital yang melemah dikarenakan belum optimalnya fungsi intermediasi perbankan dan akses keuangan yang terbatas bagi masyarakat.
Sementara itu, pada 2020, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia pernah mengungkapkan salah satu alasan mengapa Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia tinggi, salah satunya adalah, adanya pungutan liar atau pungli.
ICOR menjadi salah satu parameter yang menunjukkan tingkat efisiensi investasi di suatu negara. Semakin kecil angka ICOR, biaya investasi harus semakin efisien untuk menghasilkan output tertentu. ICOR sangat dipengaruhi kemudahan dalam berbisnis dan daya saing pasar tenaga kerja.
Nilai ICOR yang tinggi mengartikan bahwa pemanfaatan investasi yang masuk untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi secara tidak efisien.
Bahlil menjelaskan, dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, Indonesia memiliki ICOR 6,6. Paling tinggi dibandingkan dengan Malaysia dengan ICOR 4,5, Filipina 3,7, Thailand 4,4, dan Vietnam dengan ICOR 4,6.
"ICOR kita tinggi, pertama alasannya adalah punglinya terlalu besar," jelas Bahlil (8/12/2020).
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Iskandar Simorangkir pernah mengungkapkan alasan ICOR Indonesia yang tinggi ini disebabkan oleh kompleksnya proses perizinan usaha di Indonesia, karena faktor regulasi izin usaha yang berlebih (over regulated). Ia menuturkan terdapat 43.604 regulasi di pusat dan daerah yang mengatur izin usaha.
Dari jumlah tersebut 18 ribu regulasi perizinan berada di pemerintah pusat, lalu 14 ribu aturan menteri, dan 4.000 regulasi dari lembaga pemerintah non kementerian. Obesitas aturan tersebut mencerminkan sulitnya mendirikan usaha di Indonesia.
"Siapa yang mau investasi di Indonesia baik itu usaha mikro dalam negeri maupun investor asing, jadi ini yang mau diterabas dengan UU Cipta Kerja," tutur Iskandar.
Namun, hingga detik ini, UU Cipta Kerja belum memberikan hasil yang signifikan. Alih-alih berbuah hasil, UU Cipta Kerja menuai gugatan di Mahkamah Konstitusi dan pemerintah harus kejar target dengan mengeluarkan Perpu yang saat ini masih menunggu persetujuan DPR.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bukan Zaman Daendels, Jokowi Salah Kaprah Soal Infrastruktur