Kelas 1-3 BPJS Kesehatan Dihapus Mulai 2023, Iuran Akan Naik?

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
10 February 2023 10:30
Ilustrasi BPJS Kesehatan (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi BPJS Kesehatan (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti memastikan iuran peserta hingga saat ini masih tetap dan tak ada perubahan nominal meskipun sistem layanan rawat inap kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan akan dihapus.

"Kan jawaban saya tetap, kenyataan sama seperti yang kami bilang," kata Ali Ghufron saat ditemui di kawasan DPR, Jakarta, seperti dikutip Jumat (10/2/2023).

Pemerintah menargetkan, sistem kelas yang akan digantikan dengan kelas rawat inap standar (KRIS) itu akan terlaksana secara bertahap di berbagai tipe rumah sakit hingga 2025. Pelaksanaan mulai tahun ini pun tinggal menunggu keluarnya peraturan presiden.

Ali Ghufron menganggap, konsekuensi dari tidak adanya perubahan tarif iuran hingga 2024, sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo, tentu akan mempengaruhi neraca dana jaminan sosial (DJS) kesehatan yang dikelola BPJS Kesehatan dari yang pada 2022 surplus Rp 56,5 triliun.

"Yang jelas kalau BPJS kan penuh pengalaman sehingga strategi-strategi tentu dilakukan tetapi yang jelas sudah dihitung kurang, defisit 2024. 2025 defisitnya lebih besar lagi," ungkap Ali Ghufron.

Karena akan berdampak langsung pada neraca DJS, Ali Ghufron berharap implementasi KRIS dilakukan secara bertahap dan betul-betul didasari atas hasil evaluasi uji coba pelaksanaan di 14 RS yang telah dilaksanakan Kementerian Kesehatan.

"Kalau BPJS inginnya secara bertahap, bertahap itu melihat realita, sesuai realitas itu kesiapannya seperti apa jangan sampai masyarakat dirugikan," ujar dia.

Menurut Ali Ghufron, sebetulnya jika dilihat di lapangan masih banyak yang harus dibenahi sebelum menerapkan KRIS. Misalnya masih banyaknya antrian masuk ruang rawat inap setelah adanya ketentuan dalam Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2021 yang menyebutkan jumlah tempat tidur rawat inap untuk pelayanan rawat inap kelas standar paling sedikit 60% untuk rumah sakit pemerintah pusat dan daerah, serta 40% untuk rumah sakit swasta.

"Rumah sakit swasta 40%, rumah sakit pemerintah 60%. Lah sekarang aja sudah antri malah diperkecil kayak gitu, lebih berat lagi," tuturnya.

"Makanya BPJS pandangannya implementasi KRIS untuk satu peningkatan mutu layanan menjadi lebih baik, sehingga harusnya tidak ada yang dirugikan justru meningkatkan pelayanan yang lebih bagus," kata Ali Ghufron.

Dewan Jaminan Sosial (DJSN) sebelumnya telah mengumumkan hasil penghitungan dampak penerapan sistem kelas rawat inap standar (KRIS) yang akan menghapus kelas 1, 2, dan 3. Penerapan ini dinilai tidak akan membuat BPJS Kesehatan mengalami defisit hingga 2024.

Anggota DJSN Mickael Bobby Hoelman mengatakan, uji coba ini dilaksanakan tanpa mengubah tarif iuran para peserta BPJS Kesehatan yang ada selama ini, dan dengan mempertimbangkan seluruh proyeksi pengeluaran maupun penerimaannya, serta tarif kapitasi yang baru.

"Setelah penerapan tarif 2023 memang masih menunjukkan angka yang positif, terutama hingga 2024," kata Bobby saat rapat dengar pendapat dengan Komisi IX di Jakarta, Kamis (9/2/2023).

Bobby mengatakan, kajian terhadap dampak implementasi KRIS terhadap dana jaminan sosial kesehatan ini turut menggunakan medical loss ratio atau rasio klaim serta mengacu pada posisi keuangan BPJS Kesehatan pada Desember 2022 yang surplus Rp 56,5 triliun.

Dari kajian itu dilakukan simulasi menggunakan acuan tarif kelas antara kelas 2 dan kelas 3 saat ini bagi layanan fasilitas kesehatan KRIS, sedangkan faskes non-KRIS masih sesuai kelas peserta. Hasilnya BPJS Kesehatan pada 2023 masih surplus Rp 42,49 triliun, 2024 surplus Rp 20,79 triliun, baru pada 2025 defisit Rp 12,3 triliun.

Simulasi kedua menggunakan acuan tarif kelas 2 bagi layanan fasilitas kesehatan KRIS, sedangkan fasilitas kesehatan non-KRIS masih sesuai kelas peserta. Hasilnya serupa untuk tahun 2023 dengan surplus Rp 42,49 triliun. Namun pada 2024 hanya menjadi Rp 17,41 triliun dan baru pada 2024 defisit Rp 23,27 triliun.

"Menunjukkan bahwa KRIS JKN dapat diterapkan secara bertahap dengan senantiasa mempertimbangkan kesiapan dan penerimaan terutama dari sisi para peserta," ujar Bobby.


(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Daftar Iuran & Denda BPJS Kesehatan Berlaku Selasa 14 Januari 2025

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular