Macro Insight

Jokowi Gencar Bangun Ini Itu Tapi Ekonomi RI Seret, Kok Bisa?

Tim Riset, CNBC Indonesia
07 February 2023 18:00
Presiden Joko Widodo menuju Ibu Kota Nusantara (IKN) menggunakan jalur laut dengan menggunakan KRI Escolar - 871 dari Pelabuhan Semayang, Kota Balikpapan ke Pelabuhan Cita Sabut, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara
Foto: Presiden Joko Widodo menuju Ibu Kota Nusantara (IKN) menggunakan jalur laut dengan menggunakan KRI Escolar - 871 dari Pelabuhan Semayang, Kota Balikpapan ke Pelabuhan Cita Sabut, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Selasa (25/10/2022). Dalam perjalanan tersebut, Presiden dan rombongan melintasi Jembatan Pulau Balang yang menghubungkan Balikpapan dan IKN. (Foto: Laily Rachev - Biro Pers Sekretariat Presiden)

Berbeda dengan anggaran lain seperti bantuan sosial (bansos), dampak anggaran infrastruktur memang tidak bisa dirasakan langsung. Pembangunan infrastruktur biasanya memakan waktu lebih dari setahun dan dampaknya mungkin baru dinikmati pada lima tahun setelahnya.

Pembangunan besar-besaran era Jokowi mungkin saja baru bisa dinikmati presiden setelahnya.

Namun, pembangunan infrastruktur juga banyak dikritik. Banyaknya proyek yang mangkrak, tak efektif, dan ambisius menjadi catatan lain dalam pembangunan infrastruktur. Pembangunan tersebut juga bisa membebani presiden setelahnya.

Pembangunan Bandara Kertajati, Kerat Cepat Jakarta-Bandung, hingga banyaknya bandara-bandara di daerah tidak hanya boros tetapi juga kurang mendukung pertumbuhan. Proyek tersebut juga bisa membebani anggaran karena banyak dibiayai utang.

Rata-rata pertumbuhan ekonomi pada delapan tahun pertama pemerintahan SBY lebih tinggi dibandingkan Jokowi meskipun pembangunan besar-besaran dilakukan Jokowi.

Pada periode 2005-2012, ekonomi Indonesia tumbuh 5,89% sementara pada 2015-2022 sebesar 4%.

Kedua presiden sama-sama diberkahi berkah berupa booming komoditas. Keduanya juga dihadapkan pada krisis besar di bidang ekonomi dan kesehatan.

SBY dihadapkan pada Krisis Keuangan Global pada 2008/2009 yang membuat pasar keuangan dunia rontok. Jokowi harus berjuang menyelamatkan Indonesia dari dampak pandemi Covid-19 yang meluluhlantakan ekonomi Indonesia.

Keduanya juga sama-sama harus menaikkan harga BBM subsidi demi menyelamatkan APBN tetapi di sisi lain memangkas daya beli dan pertumbuhan.

Presiden SBY menaikkan harga BBM subsidi pada 2005, 2008, dan 2013. Presiden Jokowi menaikkan harga BBM subsidi pada 2014 dan 2022.

Kenaikan harga BBM ini membuat inflasi melonjak sehingga Bank Indonesia (BI) kemudian menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi.

BI pernah menaikkan suku bunga secara agresif pada 2005 dengan menaikkan suku bunga sebesar 425 menjadi 12,75% pada Desember 2005.

Kenaikan agresif dilakukan kembali pada 2022 yakni dengan mengerek suku bunga sebesar 200 bps poin. Suku bunga bergerak dari 3,50% pada Juli menjadi 5,50% pada Desember 2022.

Pandemi Covid-19 adalah cobaan terberat Presiden Jokowi pada 2020 dan 2021 dalam menjaga pertumbuhan.

Tingginya inflasi menjadi momok pemerintahan Jokowi pada 2022. Kenaikan suku bunga acuan menjadi salah satu ancaman bagi pemerintahan Jokowi pada tahun ini.

Suku bunga yang tinggi dikhawatirkan bisa menekan kembali permintaan kredit dan pertumbuhan ekonomi yang baru saja pulih setelah diterjang pandemi.

Kenaikan suku bunga juga bisa mengancam program infrastruktur Jokowi karena ongkos pinjaman jadi meningkat.


CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]

 

(mae)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular