Didik Rachbini Beberkan 5 Pemicu Demokrasi RI "Masuk Jurang"

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
Selasa, 07/02/2023 13:55 WIB
Foto: Didik Junaidi Rachbini (Dokumentasi CNBC Indonesia).

Jakarta, CNBC Indonesia - Pendiri Continuum Big Data Center Didik Junaidi Rachbini membeberkan lima masalah politik krusial yang amat potensial menyebabkan demokrasi di Indonesia "masuk jurang". Hal itu dibeberkan Didik dalam diskusi publik, Minggu (5/2/2023).

"Kelima masalah itu adalah perpanjangan masa jabatan kades, ide penundaan pemilu, kredibilitas KPU, politik dinasti yang bercampur dengan oligarki, dan kemunduran demokrasi," katanya.

Didik lantas menjelaskan poin-poin masalah itu.

Mengutip Majalah Tempo, dia mengatakan masih ada akrobat politik atau upaya tertentu dari para pelaku politik untuk menggiring perpanjangan masa jabatan presiden Jokowi menjadi tiga periode. Itu juga "mengunci" menteri-menterinya yang mempunyai kasus-kasus hukum untuk menyuarakan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi 3 periode.

"Para pemain politik/demokrasi yang turut menggerakkan wacana dengan didukung oleh para buzzer yang ekstra legal, itu sebagai bukti bahwa demokrasi di Indonesia terancam masuk jurang," kata Didik.

Ekonom senior itu menjelaskan, demokrasi intinya adalah kekuasaan yang berbagi dan kekuasaan yang dibatasi. Karena itu di negara demokasi maju seperti Amerika Serikat ada pembatasan hanya dua periode menjabat bagi presiden terpilih.

Namun wacana tidak ada pembatasan masa jabatan alias seumur hidup telah menjadi hal yang menyebabkan Sukarno dan Suharto "masuk jurang". Usulan perpanjangan jabatan kepala desa menjadi 9 tahun adalah kolusi melawan tatanan demokrasi dan melawan adab demokrasi.

"Masa 9 tahun itu menjadi lebih panjang dari dua kali masa jabatan presiden AS. Hal itu juga sama najisnya dengan usulan kehendak presiden seumur hidup," ujar Didik.



Menurut dia, dalam hal wacana presiden 3 periode, PDIP, dalam hal ini Megawati Soekarnoputri dalam pidato HUT partai beberapa waktu lalu menolak hal tersebut. PDIP berada di garda depan menolak wacana ini karena menyadari Soekarno didorong masuk jurang menjadi presiden seumur hidup.

"Andai tidak ada PDIP bisa jadi wacana anti-demokrasi ini lolos mengingat adanya dukungan yang kuat rezim dan dukungan parlemen," kata Didik.

Rektor Universitas Paramadina itu bilang, usulan perpanjangan jabatan kepala desa menjadi 9 tahun salah satu contoh demokrasi yang melenceng ke mana-mana. Rakyat di desa menjadi terancam tertindas oleh oligarki di tingkat desa, yang selama ini sudah beriklim demokrasi bagus dengan pergantian jabatan secara periodik melalui pemilihan demokratis di desa.

"Hasil dari crawling big data Continuum menemukan bahwa masyarakat menolak usul perpanjangan masa jabatan kades menjadi 9 tahun," ujar Didik.

Untuk ide penundaan pemilu, dia menilai telah ada rekayasa oleh para tokoh politik ketua partai dan ketua MPR maupun ketua DPD, dengan menyatakan perlunya penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden Jokowi dengan alasan pemerintahannya baik. Di siapkan juga oleh anasir-anasir tersebut untuk membuat sidang istimewa MPR (bahkan sudah diketuk palu) untuk membuat PPHN.

Tetapi di dalamnya ternyata berisi pengkhianatan terhadap konstitusi untuk perpanjangan masa jabatan presiden menjadi 3 periode. JIka saja PDIP tidak menolak usulan 3 periode presiden, maka kemungkinan ide sesat tersebut akan berhasil.

Didik mengatakan, KPU juga menjadi masalah lantaran menjadi produk dari transaksi kontrak bawah tanah, adu kekuatan dari masing-masing partai untuk mempengaruhi. Sejak awal dari evolusi lahirnya komisioner KPU, partai-partai telah berebut, sehingga komisioner KPU sekarang diragukan indepensinya.

"Ini karena mereka telah terikat dengan kontrak informal dari partai-partai yang mengusung dan adu kuat. Maka tidak heran dari hasil data continuum mempertanyakan independensi komisioner KPU," kata Didik.

Ekonom INDEF itu juga bilang kalau di negara maju, politik dinasti juga ada, tetapi telah terkontrol dengan baik oleh sistem politik check and balance yang efektif. Namun di Indonesia politik dinasti telah bercampur dengan oligarki jahat, sehingga politik dinasti yang diawasi oleh publik, patut mendapat perhatian.

"Politik dinasti saat ini telah terjadi di perdesaan bercampur dengan oligarki lokal. Sehingga rakyat kesulitan untuk mendapatkan praktik demokrasi yang sehat. Kekuasaan akan diwariskan turun temurun oleh keluarganya sendiri, dan bercampur dengan kepentingan bisnis, maka akses terhadap sumber daya dan lain-lain menjadi patut diawasi," ujarnya.

Lebih lanjut, Didik mengatakan, demokrasi semakin mundur karena para politisi dan partai politik telah mengkhianati demokrasi. Padahal para aktor demokrasi itu mereka terpilih karena proses demokrasi.

"Mereka mempunyai watak otoriter dalam menjalankan praktik/amanat demokrasi dan banyak langkah anti demokrasi yang dilakukan. Hingga kemudian menekan dan menakut-nakuti rakyat dengan bantuan aparat (menangkapi pihak yang berseberangan pendapat), sesuai riset Saiful Mujani. JIka pada 2014 tingkat ketakutan rakyat bicara politik hanya 16% maka pada 2021 dan 2022 rate ketakutan telah naik menjadi 50%," kata Didik.



(miq/miq)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Industri Alkes Hadapi Tantangan Global dan Ketimpangan Regulasi