
Bukan Cuma Tahun Ini, Ancaman Listrik RI Berlebih Sejak 2014

Jakarta, CNBC Indonesia - Dewan Energi Nasional (DEN) menyampaikan bahwa ancaman kelebihan pasokan listrik sebetulnya sudah terlihat pada 2014 silam. Utamanya sejak proyek pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35 ribu megawatt (MW) dicanangkan.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Darnel Ibrahim membeberkan pertama kali program 35 ribu MW diluncurkan, pihaknya bersama beberapa kalangan telah mengingatkan bahwa kebutuhan listrik nasional memang besar. Namun jika RI melakukan kegiatan industrialisasi.
"Jadi kembali lagi ke 35 ribu MW, kita sudah melihat ancaman over capacity itu sejak awal sejak 2014. Jadi ketika pertama kali diluncurkan kita sudah menyarankan itu maksud saya beberapa kalangan dari komunitas energi baik itu Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) dan pengamat waktu itu mengingatkan bahwa kebutuhan listrik kita itu memang besar jika kita industrialisasi," ujar dia kepada CNBC Indonesia dalam Energy Corner, Senin (6/2/2023).
Sehingga, program 35 ribu MW pada awalnya direncanakan masuk ke dalam proyek dengan rencana penyelesaian di tahun 2019. Namun, andai kata pada 2019 proyek tersebut selesai, maka kelebihan pasokan listrik di RI akan semakin besar.
Oleh sebab itu, guna menindaklanjuti kondisi kelebihan pasokan listrik dari program 35 ribu MW, ia mengusulkan agar pemerintah dapat memangkas pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 5 Giga Watt (GW) dari proyek tersebut. Dengan begitu, pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) dapat dimaksimalkan.
"Tetapi tadi yang menarik juga itu menurut saya kapasitas nasional itu barangkali dulu tidak diasumsikan dengan adanya wilayah usaha atau pihak-pihak yang memasok listriknya sendiri seperti kawasan ekonomi khusus. Saya pernah menyampaikan juga di PLN dalam lingkungan PLN perlu rencana terpusat jadi kalau PLN ini membuat rencananya itu tiba-tiba diberikan izin untuk pembangkit swasta tentu akan terganggu," kata dia.
Di samping itu, Herman juga mengusulkan adanya Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) pemegang wilayah usaha penyediaan tenaga listrik (Wilus) lain atau di luar PLN untuk 10 tahun ke depan. RUPTL tersebut nantinya dapat disinkronisasi dengan RUPTL yang telah disusun PLN. Ini dilakukan untuk menghindari adanya potensi kelebihan pasokan listrik yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia.
"Kemudian kita pantau karena nanti semua kenaikan semua over capacity ini konsekuensi nya juga perekonomian Indonesia jadi konsekuensi dari over capacity itu bisa kompensasi yang harus dikeluarkan pemerintah lebih besar bisa kenaikan tarif dan tentunya ini tidak baik. Tidak baik bagi perekonomian secara umum," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyadari pertumbuhan pada pembangunan pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) sejak 2019 hingga 2020 belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Hal tersebut dapat terlihat dari kapasitas pembangkit listrik berbasis EBT yang hanya bertambah 600 megawatt (MW) per tahun-nya.
Angka tersebut setidaknya hanya 12% dari tambahan kapasitas yang terjadi. Pada tahun lalu misalnya, pertumbuhan kapasitas pembangkit EBT hanya 600 MW, sementara kapasitas pembangkit baru yang tumbuh sebesar 5,5 GW.
"Jadi EBT tumbuhnya jauh di bawah apa yang ditargetkan dalam RUEN. Seharusnya kalau kita lihat target 23% energi terbarukan di tahun 2025 EBT tumbuhnya 2-3 GW. Jadi kira-kira 5-6 kali dari kapasitas yang sekarang tumbuh paling tidak dalam dalam beberapa tahun terakhir ini," ujarnya.
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Penghapusan Listrik Buat 'Orang Miskin' 450 VA Bikin Heboh