
Gawat! Pengusaha Sebut Harta Karun RI Ini Habis 9 Tahun Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia merupakan negara pemilik sumber daya nikel terbesar di dunia. Namun kenyataannya, "harta karun" nikel tersebut diproyeksikan bisa habis dalam 9 tahun lagi.
CEO PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Alexander Barus mengatakan, jika menghitung jumlah cadangan terbukti bijih nikel dengan kebutuhan pasokan (input) bijih nikel untuk smelter nikel yang terus masif dibangun di Indonesia, maka cadangan nikel akan habis dalam kurun waktu 9 tahun lagi.
Alexander menyebutkan, persediaan bijih nikel di dalam negeri tidak bisa dikatakan berlimpah. Dia mengatakan cadangan bijih nikel di Indonesia secara keseluruhan berkisar di angka 3,5 miliar ton.
"Bijih nikel kita sekarang ini persediaannya itu, memang kita tidak kita bisa mengatakan berlimpah. Data terakhir dari Badan Geologi Bandung mengatakan bahwa bijih nikel kita itu terkira-kira 3,5 miliar ton. Itu komposisinya sudah termasuk yang saprolite dan limonite, kadar tinggi dan kadar rendah," ungkapnya kepada CNBC Indonesia dalam Mining Zone, dikutip Rabu (25/1/2023).
Dari jumlah sumber daya tersebut, menurutnya jumlah cadangan terbukti bijih nikel RI sekitar 1,2 - 1,5 miliar ton. Sementara permintaan bijih nikel untuk pabrik nikel di dalam negeri saat ini diperkirakan mencapai 120 juta ton per tahun.
"Terbukti itu berkisar antara 1,2-1,5 miliar metrik ton bijih nikel yang terbukti, artinya bahwa ini bisa ditambang. Nah di sisi lain smelter kita tumbuh begitu cepat, saat ini total permintaan input bijih nikel kita untuk smelter ini mencapai sekitar 120 juta metrik ton. Kalau kita bagikan antara yang terbukti dan yang di demand itu umurnya kira-kira 9 (tahun)," paparnya.
Oleh karena itu, Alexander menilai, rencana pembangunan smelter nikel baru perlu dikaji ulang. Pasalnya, dia khawatir nantinya pemilik smelter nikel akan berebut untuk mendapatkan pasokan bijih nikel, yang saat ini statusnya diperkirakan hanya berumur 9 tahun lagi.
Bila pasokan makin menipis, sementara permintaan terus meningkat, maka diperkirakan ini bisa memicu harga bijih nikel di dalam negeri akan semakin melonjak.
"Dalam hal ini kita juga harus berpikir bahwa nanti kalau ini terus smelter dibangun, maka para smelter ini tentunya harus berebutan untuk mendapatkan input bahan bakunya. Karena bahan baku ini terbatas, sehingga harganya menjadi tinggi. Jadi memang ini (moratorium) adalah satu pilihan yang harus kita lakukan cepat atau lambat," tuturnya.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli pernah menyampaikan moratorium pembangunan smelter nikel baru perlu dilakukan. Mengingat, dengan kapasitas terpasang smelter yang sudah beroperasi saat ini membutuhkan sekitar 135 juta ton pasokan bijih nikel, maka daya tahan cadangan nikel hanya sampai sekitar 9 tahun saja.
"Belum lagi smelter yang dalam tahap konstruksi sekitar 28 smelter yang membutuhkan bahan baku sekitar 92 juta ton per tahun," kata dia kepada CNBC Indonesia, Rabu (18/1/2023).
Di sisi lain, ada 57 smelter masih dalam tahap perencanaan yang membutuhkan input bijih nikel sekitar 187 juta ton per tahun. Dengan demikian, total kebutuhan bijih nikel kadar 1,5% ke atas diperkirakan sekitar 415 juta ton per tahun.
"Dengan total cadangan yang ada saat ini sekitar 2,75 miliar ton (Ni > 1,5%), maka daya tahan cadangan mengkhawatirkan," katanya.
Setidaknya, hanya beberapa perusahaan saja yang nantinya akan bisa bertahan karena memiliki cadangan yang besar untuk menghidupi smelternya. Oleh sebab itu, perlu langkah untuk mengaktifkan eksplorasi lanjutan baik untuk menemukan cadangan baru maupun mengkonversi sumber daya menjadi cadangan.
Di lain sisi, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) berkali-kali menegaskan pentingnya hilirisasi tambang untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Adapun salah satu pendorong berkembangnya industri hilir tambang, salah satunya nikel, di Tanah Air yaitu dengan adanya kebijakan larangan ekspor bijih nikel pada 2020 lalu.
Jokowi sempat menyebut, dari yang sebelumnya nilai tambah RI hanya berkisar Rp 17 triliun per tahun, namun setelah hilirisasi berkembang, nilai tambah meningkat menjadi Rp 360-an triliun pada tahun 2021.
Pada 2022 bahkan nilai tambah dari komoditas nikel semakin meningkat menjadi sebesar US$ 33 miliar atau sekitar Rp 514 triliun. Dan pada 2023 ini nilai tambah dari industri nikel diperkirakan bisa semakin meningkat lagi hingga US$ 38 miliar atau Rp 592,2 triliun (kurs Rp15.585 per US$).
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Diam-Diam Morowali Bakal Punya 4 Pabrik Baterai Mobil Listrik