
China Bikin Kantor Sri Mulyani Was-was, Ada Apa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) mengungkapkan, pelonggaran aktivitas di China justru menimbulkan kekhawatiran tersendiri terhadap pihaknya.
Analis Kebijakan Ahli Madya BKF Kemenkeu Rahadian Zulfadin mengungkapkan, setelah China membuka perbatasan internasional pada Minggu (8/1/2023) dengan sejumlah pelonggaran justru memberikan kekhawatiran.
Pasalnya, kata Rahadian setelah China mengakhiri kebijakan zero Covid-19 policy tersebut, kasus penularan virus corona justru melonjak sangat tinggi termasuk kematiannya.
"Kita masih menunggu dalam 2-4 minggu ke depan seperti apa penanganan pandemi dengan kenaikan kasus ini di China," jelas Rahadian dalam sebuah webinar hari ini, Rabu (25/1/2023).
"Kalau ternyata sistem kesehatan tidak mampu menampung kenaikan jumlah kasus yang sangat besar, akan memiliki dampak negatif terhadap aktivitas ekonomi di China," kata Rahadian lagi.
Kekhawatiran BKF terhadap kasus penularan Covid-19 di China memberikan pengalaman buruk bagi dunia. Karena pandemi Covid-19 membuat banyak perekonomian luluh lantah.
Banyak pelaku usaha yang mengalami kerugian, masyarakat kehilangan penghasilan, bahkan pandemi Covid-19 juga telah menelan jutaan korban jiwa di seluruh dunia.
"Dampak negatif dari pandemi belum bisa ditinggalkan. Scaring effect masih terjadi baik di rumah tangga, maupun perusahaan dan perekonomian," tuturnya.
"Kondisi scaring effect (Dari pandemi Covid-19) yang ditinggalkan dari pandemi. Kemudian perang Rusia dan Ukraina, konflik di Laut China Selatan di Taiwan masih meninggalkan dampak negatif, salah satunya disrupsi rantai pasok," kata Rahadian lagi.
Seperti diketahui, China resmi membuka perbatasan internasional pada Minggu (8/1/2023) dengan memberikan sejumlah pelonggaran. Di antaranya penghapusan karantina bagi pelancong, serta diizinkannya warga China bepergian ke luar negeri.
Kasus Covid-19 di China diperkirakan bisa menembus 36.000 kematian dalam sehari saat jutaan warga berlibur merayakan Tahun Baru Imlek, yang dimulai pada 22 Januari hingga 5 Februari 2023. Perkiraan ini merupakan hasil prediksi yang dirilis oleh lembaga penelitian Airfinity pada awal pekan ini.
Presiden China Xi Jinping sendiri mengaku ketar-ketir kasus Covid-19 di negaranya melonjak saat perayaan Imlek berlangsung
Kantor berita pemerintah China, Xinhua, melaporkan Jinping mengatakan kekhawatiran itu ketika ia menelepon sejumlah pejabat Negeri Tirai Bambu.
"Jinping mengatakan khawatir terhadap daerah-daerah pinggiran dan penduduk daerah pinggiran setelah negara menyesuaikan aturan Covid-19," demikian pemberitaan Xinhua yang dikutip AFP, Rabu (25/1/2023).
Kekhawatiran Xi bukan tanpa alasan, karena pekan lalu Komisi Kesehatan Nasional China (national Health Commission/NHC) mencatat ada 59.938 kematian terkait Covid-19, dari 8 Desember 2022 hingga 12 Januari 2023.
Kematian tersebut diperkirakan akan melonjak ketika China merayakan Tahun Baru Imlek, di mana banyak warga mudik untuk berkumpul dengan sanak saudara.
(cap/cap)
Next Article Kemenkeu 'Pede" PDB RI di Atas 5% Meski Ekonomi Global Gelap


Tanda Kiamat Muncul di Mana-Mana, Tampak Jelas di Keju

Kopi Susu Laris Manis, Produksi Gula Aren RI Melesat 1.000x Lipat

Mesin Cuci dan Kulkas di Transmart Full Day Sale Dilego Jadi Segini

Nasib 10 Startup RI, Dulu Terkenal Sekarang Tinggal Kenangan

Identitas Pencipta Bitcoin Satoshi Nakamoto Terungkap, Ini Sosoknya

9 Tanda Orang Tua yang Anaknya Bakal Sukses Besar

Kisah Raja Gula Dunia dari RI, Kejayaannya Runtuh Semalam
