
Cerita Perubahan Arab Saudi, Katanya Mulai Lepas Nilai Islam?

Jakarta, CNBCÂ Indonesia - Selama ini ada dua hal yang menjadi identitas kuat Arab Saudi. Pertama dipandang sebagai negeri pemegang teguh nilai-nilai konservatif.
Sejak berdiri pada 23 September 1932, negara ini sangat memegang nilai-nilai keislaman. Di Arab Saudi, aturan-aturan Islam ditegakkan tanpa pandang bulu dan ini sudah berlangsung selama puluhan tahun.
Kedua dikenal sebagai Negeri Petro Dollar. Sepanjang sejarah, Arab Saudi mengandalkan minyak untuk mendongkrak ekonominya.
Berkat minyak yang ditemukan pada 1938, Arab Saudi masuk ke dalam rangkaian interaksi politik dan ekonomi global yang membentuknya menjadi negara modern yang diperhitungkan kedudukannya. Dari eksploitasi minyak pula Arab Saudi menjadi kaya raya.
Namun pada sisi lain Arab Saudi juga berpikir kalau ekonominya tidak selamanya dapat bergantung dengan minyak. Minyak adalah sumber daya alam yang bakal habis suatu saat nanti.
Alhasil, Arab Saudi harus berpikir untuk mencari sumber uang baru. Ketika Raja Salman bin Abdulaziz naik takhta pada 2015 dan menunjuk Mohammed bin Salman (MBS) sebagai putra mahkota, Saudi menemukan jawabannya, yakni lewat program "Saudi Vision 2030".
Saudi Vision 2030 berisi cetak biru Arab Saudi di tahun 2030 yang bertujuan melepaskan diri dari ketergantungan minyak. Dalam laman resminya, Saudi Vision 2030 punya tiga pilar utama: a vibrant society, an ambitious nation, dan a thriving economy.
Khusus yang terakhir, Saudi punya rincian lebih. Yaitu a thriving economy rewarding opportunities, a thriving economy investing for the long term, dan a thriving economy open for business.
Mengutip Transformation From an Oil-Based Economy to a Knowledge-Based Economy in Saudi Arabia (2017), intinya lewat Saudi Vision 2030, Saudi berupaya membuka pintu bagi dunia luar. Pariwisata dan investasi adalah andalannya.
Namun, untuk mewujudkannya Saudi dihadapkan oleh tembok tinggi bernama konservatisme yang dipegangnya. Alih-alih bertahan, Saudi memutuskan untuk meruntuhkan tembok itu dan membuat sebagian berpikir "kiamat sudah dekat".
Untuk membuka diri, Saudi harus membenahi kondisi dalam negerinya terlebih dahulu. Nilai-nilai konservatif perlahan ditinggalkan. Reformasi besar-besaran terjadi.
Mulanya, Saudi memperbolehkan perempuan untuk berada di ranah publik lebih bebas. Perempuan yang dulu hanya boleh berada di rumah, kini dapat bekerja, menyetir mobil sendiri, dan aktif di ruang publik.
Mengutip data The General Organization Social Insurance, dalam tujuh bulan pertama di tahun 2017, tercatat ada 500.000 perempuan Saudi memasuki pasar tenaga kerja baik di sektor swasta maupun publik. Masuknya perempuan dalam angkatan tenaga kerja ini juga mengurangi angka pengangguran negara ke angka 7%
Di sektor pariwisata, Arab Saudi membuka terobosan baru. Raja Salman membolehkan pengadaan konser di negaranya.
Pada 2019, Pangeran MBS mengundang boyband asal Korea Selatan (Korsel) untuk mengadakan konser. Tiket konser BTS di Stadium Internasional King Fahd dengan kapasitas 70.000 orang terjual habis.
Sejumlah musisi dunia lain, seperti Pitbull juga tampil di Arab Saudi. Selain itu, Arab Saudi juga membuka kembali bioskop setelah sekian lama ditutup.
Keberhasilan menata atau meliberalisasi dalam negeri sukses membawa Arab Saudi menjadi pasar investasi negara asing. Dipercaya, jika ini terus berlangsung Arab Saudi bakal semakin berkembang dan maju.
Terbaru, Arab Saudi dilaporkan mulai membuka kasino dan pintunya bagi para warga dan investor dari negara musuh bebuyutannya, yakni Israel. Selain itu, Saudi sedang menggarap beberapa proyek besar di sekitar Laut Tengah, termasuk kota baru bernama NEOM.
Proyek-proyek besar ini nantinya ditujukan untuk menarik warga internasional untuk berkunjung ke Arab Saudi. Kerajaan juga diketahui memiliki pantai privat yang kini telah mengizinkan para wanita berbikini, 125 km kota Jeddah, Pure Beach.
(mfa/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Raja Salman & MBS Sampaikan Duka Mendalam Tragedi Kanjuruhan