Jreng! Harga Beras 'Terbang' Ternyata Bukan Gegara Mafia
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga beras terpantau masih belum menunjukkan tren melandai hari ini, Selasa (24/1/2023). Panel Harga Badan Pangan menunjukkan, harga beras di dalam negeri terus menanjak sejak bulan Juli 2022.
Kala itu, harga beras premium masih di Rp12.250 per kg dan beras medium Rp10.700 per kg. Hari ini, harga beras premium sudah mencapai Rp13.170 per kg dan beras medium Rp11.570 per kg.
Namun, di awal tahun 2022, harga beras medium sebenarnya berada di Rp10.830 per kg di bulan Januari. Lalu naik jadi Rp10.850 per kg di bulan Maret, hingga kemudian turun di bulan Juli.
Begitu juga dengan beras premium, di bulan Januari 2022 masih di Rp12.350 per kg, kemudian terus melandai di bulan Juli sebelum akhirnya naik lagi, berlanjut hingga saat ini.
Pada hari Minggu (22/1/2023) harga sempat turun dari Rp13.170 per kg pada 17 Januari 2023 menjadi Rp13.140 per kg. Sedangkan, beras medium sempat turun dari Rp11.600 per kg menjadi Rp11.550 per kg.
Harga tertinggi beras premium hari ini dilaporkan terjadi di Kalimantan Selatan, mencapai Rp17.460 per kg dan terendah di Sulawesi Selatan Rp11.610 per kg.
Sedangkan, harga tertinggi beras medium dilaporkan terjadi di Sumatra Barat dengan Rp13.650 per kg dan terendah di Sulawesi Selatan Rp10.340 per kg.
Harga tersebut adalah rata-rata nasional di tingkat pedagang eceran per pukul 15.00 WIB.
Di saat bersamaan, Informasi Pangan Jakarta mencatat, harga beras di wilayah DKI hari ini juga masih naik.
Harga beras medium (IR.III/ IR.64) naik Rp230 jadi Rp10.522 per kg dan beras premium (Setra I) naik Rp184 jadi Rp13.057 per kg.
Beras Muncul I naik Rp130 jadi Rp12.890 per kg dan beras Ramos (IR 64) naik Rp20 jadi Rp11.138 per kg.
Hanya beras IR.I (IR 64) dan beras Pera (IR 42) yang turun masing-masing Rp105 dan Rp209 jadi Rp11.835 dan 12.776 per kg.
Lalu, apakah penyebab masih berlanjutnya tren kenaikan harga beras?
Ketua Umum Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi), Sutarto Alimoeso mengatakan, tren kenaikan harga beras saat ini terjadi karena efek musiman, sesuai pola panen. Di mana, mulai bulan Agustus sampai dengan Februrari, produksi di bawah kebutuhan bulanan.
"Petani memanfaatkan momentum ini untuk menaikkan harga gabah dan penggilingan padi di daerah produsen sudah terlalu banyak dan pada saat seperti ini pemilik modal yang mampu bersaing (umumnya yang besar)," kata Sutarto kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (24/1/2023).
Hanya saja, lanjut dia, kondisi tahun ini berbeda dibandingkan pergerakan harga beras di musim-musim tahun sebelumnya, karena sejumlah kebijakan pemerintah.
"Pemerintah lambat mengantisipasi. Ada kenaikan harga BBM dan fleksibilitas harga pembelian," kata Sutarto.
Sebelumnya, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengatakan, penyebab tingginya harga beras di pasaran karena stok yang minim dan juga praktik mafia.
"Sebenarnya saya sudah tahu, dan saya tidak bodoh-bodoh amat. Kalau tanda kutip ada mafia, memang ada," tegas Buwas saat mengumpulkan para pedagang beras di Kantor Pusat Bulog, Jakarta, Jumat (20/1/2023).
"Nah sekarang kita punya beras itu untuk kepentingan intervensi pasar dan masyarakat harga murah dan kebutuhan tercukupi. Kita sudah lakukan, tapi saya gak tahu begitu banyak yang kita lepas tapi harganya masih tinggi," ujarnya.
Pada kesempatan tersebut, Buwas juga mengungkapkan ada pertemuan senyap dari kalangan pengusaha. Diduga pertemuan tersebut membicarakan kongkalikong soal beras agar mereka meraup untung.
"Teman-teman dari pengusaha, saya sampaikan ini supaya dengar semua. Jadi saya gak perlu dibantai atau gimana, nanti yang jawab Satgas Pangan. Jadi jangan seperti itu lah, ini model-model apa. Dan hebat beraninya mengadakan pertemuan itu di dekat kantor Bulog, top banget itu," sebutnya.
Namun, Sutarto menampik adanya faktor yang disebut sebagai mafia beras.
"Kalau mafia definisinya seperti apa ya? Setahu saya spekulan yang ada. Cara melawannya ya pemerintah harus punya stok untuk mengisi pasar supaya spekulan tidak bermain," kata Sutarto.
Hal senada disampaikan Pengamat Pertanian.
"Mafia itu nggak ada," pungkas Khudori.
(dce/dce)