
Genjot Hilirisasi Nikel, Negara Jangan Cuma Terima Beres

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah dinilai jangan hanya terima beres atau berdiam diri dalam mendorong program hilirisasi komoditas tambang di dalam negeri. Pasalnya, peran pemerintah diperlukan untuk mendorong hilirisasi tambang berjalan, terutama dari sisi pembangunan infrastruktur.
Hal ini diungkapkan Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli. Rizal mengatakan, pemerintah perlu mengambil peran dalam mengembangkan infrastruktur, seperti jaringan listrik, air, jalan, bahkan pelabuhan agar industri fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) di Tanah Air bisa bersaing.
"Pemerintah harus ambil peran dalam mengembangkan infrastruktur, terutama jaringan listrik, air, jalan, pelabuhan, agar industri kita bisa bersaing dengan industri sejenis di negara lain," tuturnya kepada CNBC Indonesia, Rabu (18/01/2023).
Dia mengatakan, peran pemerintah penting untuk membangun infrastruktur pendukung industri smelter, terutama ketika pemerintah juga telah menargetkan netral karbon atau Net Zero Emissions (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
Dengan adanya target netral karbon tersebut, maka sumber energi yang digunakan untuk industri smelter tersebut juga harus lah berbasis energi baru terbarukan, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), dan lainnya.
"Hal ini dimungkinkan kalau di daerah yang akan dibangun smelter memiliki sumber daya energi yang ramah lingkungan tersebut. Kalau tidak ada sumber energi tersebut, sebaiknya pemerintah lewat PLN harus mengusahakan jaringan listrik yang andal dengan harga yang bersaing untuk menghidupkan smelter tersebut," tuturnya.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkali-kali menegaskan pentingnya hilirisasi tambang untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Adapun salah satu pendorong berkembangnya industri hilir tambang, salah satunya nikel, di Tanah Air yaitu dengan adanya kebijakan larangan ekspor bijih nikel pada 2020 lalu.
Jokowi sempat menyebut, dari yang sebelumnya nilai tambah RI hanya berkisar Rp 17 triliun per tahun, namun setelah hilirisasi berkembang, nilai tambah meningkat menjadi Rp 360-an triliun pada tahun 2021.
Pada 2022 bahkan nilai tambah dari komoditas nikel semakin meningkat menjadi sebesar US$ 33 miliar atau sekitar Rp 514 triliun. Dan pada 2023 ini nilai tambah dari industri nikel diperkirakan bisa semakin meningkat lagi hingga US$ 38 miliar atau Rp 592,2 triliun (kurs Rp15.585 per US$).
Kendati demikian, belakangan pemerintah menyebutkan akan membatasi pembangunan smelter di dalam negeri.
Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadali mengungkapkan bahwa pemerintah akan membatasi pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter). Khususnya, bagi smelter yang hasil produk hilirnya (kandungan logam) baru mencapai 40%.
Menteri Bahli menyatakan bahwa ke depan pihaknya akan melakukan pembatasan terhadap pembangunan smelter yang tidak berorientasi pada green energy.
"Ini sebagai bentuk dari kepedulian pemerintah dalam melakukan penataan terhadap pembangunan produk yang berorientasi pada green energy dan green industry," terang Menteri Bahlil saat ditemui di Istana Kepresidenan, Jumat (13/1/2023).
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Genjot Hilirisasi Nikel, RI Bisa Tiru China