Anak Buah Sri Mulyani: Revisi PP DHE Sasar Ekspor Non-SDA
Jakarta, CNBC Indonesia - Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengungkapkan, keputusan pemerintah merevisi PP Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) Pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) menitikberatkan supaya devisa non-SDA juga turut diatur dalam peraturan itu.
Menurut dia, ini karena kinerja ekspor non SDA sebetulnya juga sangat besar porsinya dalam total keseluruhan ekspor. Dengan demikian, devisa hasil ekspor di sektor itu juga sebetulnya memiliki potensi besar untuk menambah pundi-pundi dolar ke dalam cadangan devisa Indonesia.
"Yang PP 1 itu kan hanya atur yang SDA, tapi kan banyak juga ekspor kita yang non-SDA, terutama yang manufaktur," kata Suahasil dalam program Squawk Box CNBC Indonesia, Jumat (13/1/2023).
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik, ekspor sektor non SDA memang mendominasi dari total keseluruhan ekspor Indonesia. Hingga catatan November 2022, dari total ekspor US$ 24,12 miliar, porsi industri pengolahan mencapai US$ 16,68 miliar, sedangkan tambang dan lainnya US$ 5,89 miliar, serta migas US$ 1,14 miliar.
Kendati begitu, ia menilai, dalam PP ini tidak diatur supaya DHE non SDA wajib dimasukkan ke dalam sistem keuangan Indonesia. Dalam Pasal 3 PP itu hanya menyebutkan khusus Devisa berupa DHE SDA, wajib dimasukkan ke dalam sistem keuangan Indonesia.
Sejauh ini, Suahasil mengatakan, dalam aspek pengaturan DHE SDA itu sebetulnya sudah berjalan sebagaimana semestinya. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai akan menerima setiap laporan ekspor SDA dari para eksportir untuk kemudian dibuatkan pemberitahuan ekspor.
Setelah itu, seluruh ekspor SDA yang menghasilkan devisa harus masuk ke rekening khusus yang ada di Bank Indonesia (BI) dan akan dicatat dan diawasi. Jika ada data yang tidak sesuai antara nilai yang diperoleh dari hasil ekspor dengan yang dimasukkan ke rekening khusus akan ditindak oleh Ditjen Bea dan Cukai.
"Kalau sampai ada yang dianggap tidak klop, Bea Cukai stop ekspornya yang berikutnya, sampai dia bayar denda sesuai yang dinotice. Tapi kan kita ekspor terus, terus kemudian DHE nya masuk terus, jadi itu memang BI yang melihat. Kalau dia enggak klop, dia kirim ke Bea Cukai, Bea Cukai stop, udah ada yang di stop belum? udah ada," tutur Suahasil.
Oleh sebab itu, ia menekankan yang perlu diatur kini adalah untuk DHE dari sektor-sektor non SDA, karena yang SDA sendiri sudah jalan mekanismenya sesuai PP. Namun, ia mengakui, selama ini ada kekhawatiran pengaturan ini akan menganggu bisnis di sektor non-SDA itu.
"Kadang-kadang kan kita berfikir, ini kalau yang manufaktur malah orang enggak mau buka, segala macam, udah lah sekarang kita akan atur. Itu makanya diberi amanat SDA, dan non SDA kita atur sehingga kemudian nanti dia bisa memperkuat devisa Indonesia. Itu dia kita rumusin dulu sama kantor Menko," ucapnya.
Adapun, rencana aturan rincinya belum banyak diungkap oleh Suahasil. Dia bahkan belum mengungkap berapa lama DHE itu wajib mengendap di sistem keuangan Indonesia. Menurutnya pemerintah harus memperdalam dulu penerapan kebijakan yang ada di negara-negara lain supaya sesuai dengan pemberlakuan di tingkat internasional.
"Kita musti benar-benar dalam konteks internasional kita inline dengan internasional. Aku harus minta nih supaya perbandingan antar negara itu dilakukan jadi nanti kita punya bayangan kita," ujar dia.
(haa/haa)