Maluku Kena Gempa, 'Harta Karun' di Masela Tak Lagi Raksasa?
Jakarta, CNBC Indonesia - Gempa bermagnitudo 7,9 Skala Richter (SR) mengguncang Maluku Tenggara dan Sulawesi Tenggara, Selasa (10/01/2023). Gempa yang terjadi sekitar pukul 00:47 WIB Selasa dini hari tersebut berlokasi di dekat proyek gas "raksasa" RI, yakni Blok Masela di perairan Laut Arafuru, Maluku.
Lantas, apakah gempa di Maluku berpotensi mengubah sumber daya minyak dan gas bumi (migas) yang tersimpan di Blok Masela?
Penyelidik Bumi Madya Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Supartoyo menjelaskan mengenai dampak dari gempa terhadap cadangan migas yang tersimpan di daerah berdekatan dengan pusat gempa.
Supartoyo mengatakan bahwa migrasi dengan bentuk fluida bisa terjadi sebagai dampak dari kejadian gempa dengan kekuatan yang cukup besar.
"Tapi biasanya gini, suatu kejadian gempa bumi itu bisa membawa migrasi dari fluida yang ada, katakanlah di bawah tanah dengan guncangan itu. Bisa memindahkan fluida ya," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Rabu (11/1/2023).
Supartoyo menyebutkan bahwa karakteristik batuan yang ada juga dapat memengaruhi migrasi dari fluida yang akan bermigrasi.
"Jadi ada source ya, sumber minyak bumi yang mungkin dia bisa katakanlah yang berbentuk fluida ini bisa migrasi. Itu tergantung juga dari istilahnya kondisi-kondisi karakteristik batuannya, seperti apa. Biasanya banyak fracture yang kemungkinan bisa migrasi," terangnya.
Namun dia menekankan, terlalu dini untuk menyebutkan bahwa gempa yang terjadi di Maluku kemarin bisa berdampak pada menambahnya atau berkurangnya cadangan migas di Maluku.
Supartoyo berharap cadangan migas di sekitar kejadian gempa bisa tetap seperti yang sudah diperhitungkan.
"Mungkin terlalu dini kalau untuk menyatakan itu, bertambah atau berkurang. Tapi kayaknya sih mudah-mudahan cenderung tetap seperti yang sudah dihitung, hanya memang pada beberapa kasus dia bisa membawa migrasi dari fluida dari satu tempat dari tempat lainnya akibat ini," jelasnya.
Selain itu, Supartoyo juga mengatakan bahwa kemungkinan migrasi migas juga harus memperhatikan permukaan dan apakah memungkinkan ada wadah untuk menampung migrasi tersebut.
"Dan tentu saja untuk migrasi ini kan dia kan juga harus memenuhi syarat-syarat permukaan ya, apakah ada wadahnya untuk menampung migrasi ini," tandasnya.
Seperti diketahui, di dekat sumber gempa tersebut terdapat salah satu proyek gas "raksasa" Indonesia, yakni Blok Masela. Meski saat ini proyek ini belum beroperasi, namun cadangan gas di blok ini digadang-gadang sebagai salah satu cadangan "raksasa".
Pasalnya, Blok Masela ini diperkirakan memiliki potensi produksi 1.600 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) gas atau setara 9,5 juta ton LNG per tahun (mtpa) dan gas pipa 150 MMSCFD, serta 35.000 barel minyak per hari.
Proyek senilai US$ 19,8 miliar ini dikelola oleh Inpex Corporation (65%) dan Shell (35%). Adapun jadwal operasi blok gas "raksasa" ini diperkirakan mundur ke 2029 dari rencana semula 2027.
(wia)