Ekspor Bauksit Distop Juni 2023, RI Siap Digugat ke WTO Lagi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) bersikap tegas soal nilai tambah dari pengerukan hasil perut bumi Indonesia. Setelah melarang ekspor bijih nikel pada 2020 lalu, Jokowi kembali memutuskan untuk melarang ekspor bijih bauksit mulai Juni 2023 mendatang.
Kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel pada 2020 lalu telah menjadi sorotan dunia, bahkan Indonesia digugat Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Namun sayangnya, Indonesia harus kalah dalam gugatan pertama di WTO ini.
Lantas, bagaimana bila hal ini terjadi lagi saat Indonesia melarang ekspor bauksit nantinya? Apakah tidak khawatir negara akan kembali digugat ke WTO lagi, seperti halnya saat melarang ekspor bijih nikel?
Menanggapi hal itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif kembali menekankan bahwa kebijakan pelarangan ekspor bijih bauksit itu dapat memberikan nilai tambah bagi negara.
Bijih bauksit bisa diolah menjadi alumina hingga produk aluminium yang dibutuhkan di berbagai sektor, seperti konstruksi, elektronika, kendaraan, dan lainnya.
"Gini ya, kita kan harus bisa bikin nilai tambah, bauksit ini kan bahan yang strategis buat jadi aluminium, kan tahu sendiri banyak dipakai. Jadi bauksit juga harus kita olah sampai ke industri hilirnya," ungkap Arifin saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (6/1/2023).
Arifin menegaskan, dengan melakukan hilirisasi atau membangun pabrik turunan dari bijih bauksit di dalam negeri, maka ini bisa menambah lapangan kerja baru di Tanah Air.
"Sama seperti nikel, tembaga, malah turunannya kalau bisa diturunin lagi supaya bisa sampai di ujung. Supaya bisa nambah lapangan kerja baru," tandasnya.
Namun sayangnya, dia mengakui bahwa membangun hilirisasi bauksit di Tanah Air perlu usaha keras bersama. Dia menyebut, berdasarkan hasil pantauannya ke lapangan, ternyata banyak fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) bauksit yang "berantakan" alias tidak sesuai dengan apa yang telah dilaporkan kepada pihaknya.
"Kemarin kunjungan di lapangan banyak yang masih berantakan, smelternya gak sesuai apa yang dilaporkan," ucapnya.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, kini setidaknya masih ada delapan smelter bauksit yang dalam proses pembangunan.
Kendati demikian, pihaknya menegaskan bahwa pemerintah akan tetap menjalankan kebijakan pelarangan ekspor bijih bauksit pada Juni 2023 mendatang.
"Ya kita larang. Gak ada relaksasi (ekspor bauksit)," tegasnya.
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) membeberkan, terdapat puluhan juta ton bijih bauksit RI yang berpotensi tidak terserap di dalam negeri. Hal tersebut menyusul rencana pemerintah yang bakal menutup keran ekspor bijih bauksit mulai tahun ini.
Pelaksana Harian Ketua Umum APB3I Ronald Sulistyanto menilai pabrik pengolahan dan pemurnian atau (smelter) menjadi solusi agar puluhan juta ton bauksit di Indonesia dapat terserap.
Pasalnya, produksi bijih bauksit di dalam negeri saat ini jumlahnya mencapai 58 juta ton per tahun. Sementara, fasilitas pengolahan Smelter Grade Alumina (SGA) yang ada baru sebatas 2 unit smelter dengan konsumsi bijih bauksit 12 juta ton per tahun.
Artinya masih terdapat selisih 44 juta ton bijih bauksit yang belum terserap. Terutama apabila kebijakan larangan ekspor benar-benar akan diberlakukan mulai Juni 2023.
"Sudah ada RKAB sebanyak 28 perusahaan dan kalau rata rata produksi 2 juta ton per tahun akan mendapatkan 56 juta ton per tahun, konsumsi dalam negeri dengan 2 Smelter SGA yang ada sekitar 12 juta ton per tahun, maka akan ada selisih 44 juta ton per tahun, mau dikemanain," ujar Ronald kepada CNBC Indonesia, Kamis (22/12/2022).
[Gambas:Video CNBC]
Kalah Gugatan Nikel di WTO, RI Siap Banding!
(wia)