CNBC Indonesia Research

Pemerintah Bakal Batasi LPG 3 Kg, Solusi atau Masalah Baru?

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
03 January 2023 09:20
Pekerja melakukan bongkar muat tabung LPG (Liquefied Petroleum Gas) 3 Kg atau gas melon di kawasan Cililitan, Jakarta Kamis (14/7/2022).
Foto: Pekerja melakukan bongkar muat tabung LPG (Liquefied Petroleum Gas) 3 Kg atau gas melon di kawasan Cililitan, Jakarta Kamis (14/7/2022).

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2023 menjadi komitmen pemerintah Indonesia dalam mewujudkan rencananya memperbaiki skema penyaluran LPG 3 kg. Ini dilakukan agar konsumsinya bisa tepat sasaran bagi masyarakat miskin.

Pemberian subsidi akan diarahkan menjadi berbasis penerima, berbeda dari selama ini yang berbasis barang. Rencana kebijakan distribusi elpiji 3 kg bersubsidi tersebut tertuang dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2023.

"Arah kebijakan subsidi energi pada tahun 2023 akan melanjutkan transformasi subsidi elpiji 3 kg menjadi berbasis target penerima melalui integrasi dengan bantuan sosial," tulis KEM PPKF yang diterbitkan Kemenkeu Desember 2022 lalu.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2021 ada 82% rumah tangga di Indonesia yang menggunakan LPGĀ sebagai bahan bakar utama untuk memasak. Persentase itu mencakup rumah tangga yang menggunakan LPG tabung 3 kg, 5,5 kg, dan 12 kg.

Proporsi rumah tangga konsumen LPG terbesar pada 2021 berada di Sumatra Selatan, Kep. Bangka Belitung, Bengkulu, Kalimantan Barat, DKI Jakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Riau, dan Gorontalo. Di 10 provinsi ini ada lebih dari 90% rumah tangga yang menggunakanLPG.

Sementara itu proporsi terkecil berada di Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara, Maluku, Papua, dan Papua Barat. Persentase rumah tangga konsumen LPG di 5 provinsi tersebut hanya berkisar 1%-5% seperti terlihat pada grafik.

Transformasi subsidi elpiji 3 kg dilakukan untuk memperbaiki ketepatan sasaran dengan membatasi golongan masyarakat yang bisa mengonsumsinya, sehingga hanya masyarakat miskin yang menikmati. Ini sejalan dengan ketentuan pemberian subsidi dalam UU Energi Nomor 30 tahun 2007.

Selain masyarakat miskin, mengacu pada Perpres Nomor 104 tahun 2007, subsidi elpiji 3 kg juga diberikan pada golongan rumah tangga dan usaha mikro. Serta berdasarkan Perpres Nomor 38 Tahun 2019, elpiji bersubsidi itu juga bisa dinikmati oleh nelayan dan petani kecil.

Tahapan pertama dalam program gas yang dikenal dengan sebutan melon ini merupakan registrasi mandiri oleh semua masyarakat yang menggunakannya. Semua yang melakukan registrasi masih tetap bisa membeli gas elpiji 3 kg sampai pemerintah melakukan penyortiran data.

Kementerian ESDM dan pertamina akan melakukan penyortiran data salah satunya dengan sinkronisasi data pembeli yang telah melakukan registrasi dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan Percepatan Penghapusan Kemiskinan Esktrem (PPKE).

Selanjutnya, orang yang sudah masuk dalam DRKS dan PPKE adalah mereka yang dianggap miskin dan selama ini menjadi sasaran penerima bantuan sosial.

Baca Halaman Selanjutnya >>> Kalau Kebijakan Belum Matang, Bisa Muncul Masalah Baru

Menakar Ketepatan Kebijakan

Pemerintah berencana menerapkan mewajibkan membeli gas LPG 3 kg dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Dengan ini data pengguna bisa terbaca dan terlihat mana yang 'berhak' bisa membeli gas bersubsidi tersebut.

Lagi-lagi Ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Upaya agar tepat sasaran yang tengah diusahakan pemerintah memang baik tetapi apakah pemerintah memikirkan bagaimana implementasinya di lapangan? Terlebih di seluruh wilayah Indonesia.

Berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, subsidi energi hanya diberikan kepada golongan masyarakat miskin. Sedangkan mengacu Peraturan Presiden (Perpres) 104/20227, subsidi elpiji tabung 3 kg diberikan kepada rumah tangga dan usaha mikro.

Beleid yang mengatur penyaluran elpiji 3 kg tersebut perlu penyempurnaan agar bisa tepat sasaran. Seperti pada Perpres 104/2007, regulasi ini belum mengatur perihal pembatasan golongan rumah tangga yang miskin dan rentan.

Alih-alih tepat sasaran namun malah kebijakan ini justru akan menyulitkan masyarakat di lapangan jika kebijakan belum matang.

Di sisi lain, dengan adanya kebijakan ini pastinya pengecer gas LPG semakin terbatas. Dengan sistem pendataan ini, kemungkinan penjualan gas LPG 3kg tidak akan sebebas saat ini, dijual di pengecer sampai pelosok gang-gang perkotaan.

Selanjutnya, gas LPG 3kh kemungkinannya hanya bisa dibeli melalui sub penyalur dengan pembeli yang membawa KTP. Muncul lah masalah baru terkait akses nantinya, karena bisa jadi membutuhkan biaya transportasi yang lebih besar.

Pada dasarnya kebijakan pembatasan pembelian LPG 3 kg ini sebenarnya bagus. Namun, jika kebijakan ini mau berjalan dengan efektif, mekanismenya memang harus diperhatikan betul oleh pemerintah. Digitalisasi memang memudahkan semuanya, namun pertanyaannya apakah orang di desa paham dan punya akses untuk hal tersebut?

Di sisi lain, perlu diantisipasi bahwa subsidi barang akan lebih mudah diselewengkan dibandingkan subsidi kepada orang, dalam hal ini upaya untuk memberlakukan subsidi tertutup untuk LPG 3 kg akan sulit tepat sasaran.

Apalagi, sejak awal pindah dari minyak tanah ke gas, memang LPG 3 kg disubsidi sehingga mendistorasi harga. Belakangan, karena kelangkaan dan harga yang fluktuatif, gap harga antara gas subsidi dan non-subsidi terlalu jauh.

Karena itu, saat ini PPN masih melakukan pilot project yang harapannya benar untuk mengetahui celah-celah kebocoran, kecurangan, termasuk skema bagaimana ini benar-benar bisa tetap sasaran seperti tujuannya diawal.

Harapannya pemerintah bisa punya data valid terkait orang miskin. Sehingga jangan sampai kebijakan yang ingin menyehatkan APBN tersebut justru membawa semakin banyak orang jatuh ke jurang kemiskinan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular