Big Stories 2022

Ramai BPJS Kesehatan Orang Kaya, Hapus Kelas & Iuran Baru

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
29 December 2022 14:00
Ilustrasi BPJS Kesehatan (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi BPJS Kesehatan (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Program asuransi nasional Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang berdiri sejak 2014, telah meringankan banyak masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan.

Banyak desas-desus yang muncul ke permukaan di dalam tata kelola Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini. Mulai dari kas lembaga yang selalu defisit, pemisahan tarif orang kaya dan miskin, hingga penghapusan kelas 1, 2, dan 3 menjadi kelas standar.

Untuk pertama kalinya sejak berdiri, arus kas BPJS Kesehatan dinyatakan tidak defisit. Tercermin dari kondisi Dana Jaminan Sosial (DJS) yang positif hingga 31 Desember 2021.

Aset bersih BPJS Kesehatan tercatat sebesar Rp 38,7 triliun. Angka ini tergolong sehat, karena mampu memenuhi pembayaran klaim hingga 5,15 bulan ke depan.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2015, aset DJS dikatakan sehat jika mencukupi estimasi pembayaran klaim untuk sedikitnya 1,5 bulan ke depan, atau paling banyak enam bulan ke depan.

Kondisi surplus ini baru pertama kali dialami BPJS Kesehatan sejak beroperasi pada tahun 2014. Sebelumnya, aset neto BPJS Kesehatan pada 2019 defisit Rp 51 triliun. Sementara pada 2020, aset neto pada 2020 defisit Rp 5,69 triliun.

BPJS Kesehatan mengungkapkan membaiknya kondisi keuangan lembaganya itu karena rendahnya angka kunjungan peserta BPJS Kesehatan ke rumah sakit selama pandemi Covid-19. Serta adanya penyesuaian iuran pada 2020 dan perluasan kanal pembayaran iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).

Sepanjang tahun ini, BPJS Kesehatan juga mengungkapkan, telah banyak masyarakat rentan atau miskin yang menggunakan fasilitas kesehatannya dibandingkan dengan masyarakat kaya atau konglomerat.

Hal tersebut disampaikan langsung oleh Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti saat melakukan rapat kerja dengan Komisi IX DPR pada 7 Desember 2022.

"Peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) memakainya lebih banyak, termasuk operasi jantung," jelas Ali dikutip Rabu (28/12/2022).

Pernyataan Ali sekaligus menepis pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang menyebut orang kaya lebih banyak menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan dan menjadi beban negara.

Ali tak menampik, kemungkinan memang ada masyarakat mampu yang menggunakan layanan BPJS Kesehatan.

Karena awal mula ada, fasilitas asuransi pemerintah ini dianggap tidak memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat miskin. Sehingga hanya sedikit masyarakat rentan dan miskin yang menggunakannya.

Kendati demikian, dalam dua tahun terakhir justru porsi masyarakat rentan dan miskin yang banyak memanfaatkan fasilitas BPJS Kesehatan ini, yakni sebanyak 31,93 juta untuk peserta penerima bantuan iuran (PBI).

Dalam periode 2021-2022 anggaran yang digelontorkan untuk peserta PBI oleh BPJS Kesehatan sebesar Rp 27 triliun.

Sementara itu, untuk data penerima dari pekerja penerima upah (PPU) ada 28,36 juta kasus dengan total biaya Rp 24,1 triliun, pekerja bukan penerima upah (PBPU) ada sekitar 26 juta kasus dengan biaya Rp 20 triliun, dan bukan pekerja ada sekitar 8 juta kasus dengan biaya Rp 5,95 triliun.

"Jadi kesadaran masyarakat tidak mampu itu jauh lebih bagus. Jadi PBI itu intinya banyak yang mulai sadar dan memanfaatkan haknya. Kalau dulu banyak orang jual rumah, jual ini untuk biaya kesehatan, sekarang sudah jarang (jual) untuk bayar sakit," jelas Ali.

Adapun untuk anggaran 2023, Ali menyebut dari total anggaran Rp 143 triliun, 31,5% persen atau sebesar Rp 45 triliun akan dialokasikan untuk peserta PBI BPJS Kesehatan.

Sebelumnya, saat rapat dengan Komisi IX DPR pada 22 November 2022, Menkes Budi Gunadi Sadikin menaruh curiga terhadap 1.000 peserta BPJS Kesehatan, yang disinyalir mereka adalah orang kaya alias kaum konglomerat.

Menurut Budi, sebanyak 1.000 peserta konglomerat BPJS Kesehatan itu memiliki konsumsi listrik yang besar, hingga di atas 6.600 VA. Yang kemudian dia nilai sebagai kategori masyarakat mampu alias kaya raya.

"Saya mau tarik datanya, saya mau lihat itu PLN-nya besarnya berapa. Kalau VA-nya di atas 6.600, yang pasti itu adalah orang yang salah," jelas Budi.

Budi juga berencana untuk mengecek limit kartu kredit dari 1.000 peserta tersebut. Jika peserta memiliki dana di kartu kredit mencapai ratusan juta, kata Budi, mereka bukan sasaran BPJS Kesehatan.

"Lihat limit kartu kreditnya berapa, kalau dia gak punya ya benar (dia orang tidak mampu), (kalau) tahu-tahu kartu kreditnya Rp 100 juta, itu orang yang gak tepat kami bayarin," ujarnya.

Menkes Budi Gunadi Sadikin menyatakan, bahwa BPJS Kesehatan sudah sewajarnya memberikan tanggungan kepada 270 juta masyarakat Indonesia. Namun, perlu ada definisi penganggaran yang baik.

Definisi penganggaran yang baik, menurut Budi agar pembiayaan atau tanggungan dana layanan tambahan kesehatan tidak terlampau luas sehingga tidak menjadi hal yang negatif.

Maka dari itu, Budi meminta pihak dewan BPJS Kesehatan untuk memeriksa secara rinci terkait pengguna terbesar BPJS Kesehatan. Jika mereka termasuk kelompok yang mampu secara finansial, pembiayaan kesehatan dialihkan ke asuransi swasta.

"Kita ingin memastikan ke depannya agar layanan BPJS atau JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) ini sustainable. Integrasi dengan asuransi swasta harus terjadi sehingga pemerintah akan konsentrasi melayani masyarakat yang memang tidak mampu," jelas Budi.

Dengan demikian, saat ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sedang berupaya untuk melakukan kerja sama dengan pihak asuransi swasta sehingga pembiayaan BPJS Kesehatan dapat berfokus pada masyarakat yang tidak mampu.

Dengan demikian, 'BPJS orang kaya' yang disebutkan oleh Menkes memiliki makna bahwa prioritas pemerintah adalah menanggung layanan tambahan untuk masyarakat dengan pendapatan rendah.

Budi pun menghimbau kepada masyarakat berpenghasilan tinggi tidak menuntut BPJS Kesehatan untuk menanggung obat non-generik. Sebab, hal tersebut mampu menyulitkan masyarakat dengan pendapatan rendah.

Adanya wacana 'BPJS Orang Kaya' ini pun disambut baik oleh Dirut BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti. Pihaknya siap menjalin kerja sama dengan pihak asuransi swasta dalam skema pembiayaan public private partnership.

"Yang jelas BPJS itu sudah on the right track, bersedia dan bisa kerja sama dengan asuransi swasta dan lain sebagainya," ujar Ali.

Lagi pula, kerjasama dengan asuransi swasta kata dia sebenarnya sudah terjalin sejak lama, namun pelaksanaannya kurang optimal. Kendati demikian, Ali enggan merinci berapa asuransi swasta yang sudah terlibat.

Kementerian Kesehatan berencana untuk menaikkan tarif jaminan kesehatan nasional (JKN) yang saat ini tertuang di dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 dan Permenkes Nomor 52 Tahun 2016.

Revisi dilakukan terkait penyesuaian tarif kapitasi dan Indonesia case base Groups (INA-CBG's). Menkes Budi Gunadi menargetkan revisi dua aturan tersebut selesai di tahun ini.

Kenaikan tarif tersebut disebabkan karena sejak 2014, tidak ada penyesuaian tarif kapitasi dan sejak 2016 belum ada penyesuaian tarif INA-CBG's.

Budi juga mengatakan harga sejumlah barang saat ini sudah sangat berubah dan karena itu harus disesuaikan.

Perubahan harus dilakukan karena tarif saat ini dari sisi fairness atau equity antar fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) lebih banyak pelayanan di RS kelas A. Padahal, banyak pelayanan yang sudah bisa dilakukan di RS kelas C dan D.

Dengan memperhitungkan jumlah populasi di masing-masing daerah, nilai kapitasi pun kemungkinan tidak akan sama. Misalnya, Yogyakarta yang memiliki jumlah populasi usia tua paling banyak akan memikul beban lebih tinggi ketimbang di Bali yang lebih banyak populasi usia muda.

Besaran kapitasi yang naik juga diikuti dengan perbaikan indikator pembayaran kapitasi berbasis kinerja untuk mengontrol mutu pelayanan.

Lebih rinci, dalam revisi Permenkes Nomor 52 Tahun 2016 tentang standar tarif JKN dengan memperbaiki formula perhitungan tarif sesuai dengan yang dipakai di beberapa negara.

"Yaitu Relative weight x Base weight x Adjustment factor," jelas Budi. Adjustment factor yang dimaksud dalam rumus tersebut mempertimbangkan regionalisasi antara fasilitas kesehatan.

Kendati demikian, Budi memastikan bahwa iuran BPJS Kesehatan kepada masyarakat, dipastikan akan tetap hingga 2024 mendatang. Kebijakan itu dilakukan atas arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Memang secara politik susah menerima (kenaikan premi BPJS), sehingga bapak presiden yang minta kalo bisa jangan naik sampai 2024, jadi kita jaga bener posisi politik pemerintah agar ini tidak naik," jelas Budi saat melakukan rapat kerja dengan Komisi IX DPR November silam, dikutip Rabu (28/12/2022).

Mengacu kepada Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan, bahwa besaran iuran ditentukan berdasarkan jenis kepesertaan setiap peserta dalam program JKN.

1. Peserta PBI

Iurannya sebesar Rp. 42.000 dibayarkan oleh pemerintah pusat, dengan kontribusi pemerintah daerah sesuai kekuatan fiskal tiap daerah.

2. Peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) atau Pekerja Formal

Yang dimaksud peserta PPU/pekerja formal seperti ASN, TNI, POLRI dan pekerja swasta.

Besaran iuran sebesar 5% dari upah, dengan rincian 4% dibayarkan oleh pemberi kerja dan 1% oleh pekerja.

Untuk perhitungan iuran ini berlaku pula batas bawah yaitu upah minimum kabupaten/kota dan batas atas sebesar Rp 12 juta.

Bila seorang pekerja memiliki gaji di atas Rp 12 juta, Rp 13 juta misalnya, maka iuran yang dibayarkan tetap 5% dari Rp 12 juta.

3. Peserta Bukan Pekerja (BP) atau Pekerja Informal

Kelompok peserta sektor informal yang tidak memiliki penghasilan tetap dikelompokkan sebagai peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP).

Untuk jenis kepesertaan ini, peserta dapat memilih besaran iuran BPJS sesuai yang dikehendaki.

- Kelas 1 sebesar Rp 150.000 per orang per bulan
- Kelas 2 sebesar Rp 100.000 per orang per bulan
- Kelas 3 sebesar Rp 35.000 per orang per bulan

Untuk iuran BPJS Kesehatan kelas 3 sebenarnya sebesar Rp 42.000 per bulan, namun pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp 7.000.

Penerapan sistem kelas rawat inap standar (KRIS) BPJS Kesehatan direncanakan secara bertahap, mulai tahun depan atau 2023.

Melalui sistem itu, kelas 1, 2, dan 3 rawat inap yang berlaku selama ini di BPJS Kesehatan bakal ditinggalkan.

"Insya Allah, tapi gradually ya," ucap Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Kunta Wibawa Dasa Nugraha kepada CNBC Indonesia, seperti dikutip Rabu (28/12/2022).

Kementerian Kesehatan juga sebetulnya telah menargetkan rampungnya perluasan uji coba KRIS di 10 rumah sakit (RS) berbagai tipe, baik di tingkat RS vertikal pemerintah, RS pemerintahan daerah, hingga RS swasta.

Hasil uji coba pertama kali dilakukan di empat RS vertikal pemerintah, yaitu RSUP Rivai Abdullah Palembang, RSUP Tadjuddin Chalid Makassar, RSUP Johannes Leimena Ambon, dan RSUP Surakarta.

Keempat RS tersebut telah melaksanakan uji coba KRIS pada September 2022. Kendati demikian Kunta enggan menegaskan pelaksanaan KRIS yang akan berlangsung secara bertahap tahun depan tersebut. "Tunggu pengumumannya ya," ujarnya.

Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Asih Eka Putri menambahkan, pelaksanaan sistem KRIS juga harus menunggu rampungnya revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018, yang saat ini masih terus digodok oleh pemerintah dan otoritas terkait.

Menurutnya, selain bergantung pada Perpres, pelaksanaan penerapan KRIS juga akan mempertimbangkan hasil evaluasi dari perluasan uji coba KRIS di 10 RS.

Uji coba penerapan KRIS di 10 rumah sakit telah berlangsung sejak 1 Desember 2022 dan ditargetkan selesai pada 1 Januari 2023. Ke-10 rumah sakit yang dimaksud yakni:

1. RSUP Sardjito Sleman (kelas A)

2. RSUD Soedarso Kota Pontianak (kelas A)

3. RSUD Sidoarjo (kelas B)

4. RSUD Sultan Syarif M. Alkadrie Kota Pontianak (kelas C)

5. RS Santosa Kopo Kota Bandung (kelas A)

6. RS Santosa Central Kota Bandung (kelas A)

7. RS Awal Bros Batam (kelas B)

8. RS Al Islam Kota Bandung (kelas B)

9. RS Ananda Babelan Bekasi (kelas C)

10. RS Edelweis Kota Bandung (kelas C)


(cap/cap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ingat! Rawat Inap Standar BPJS Kesehatan Mulai 1 Januari 2023

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular