
Banyak Makan 'Tumbal', Begini Fakta Proyek Tol Jagorawi

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejak tahun 1950, Jakarta menjelma menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi. Orang-orang dari seluruh Indonesia berbondong-bondong untuk datang dan mengadu nasib.
Dampaknya tentu membuat ibukota negara ini perlahan semakin padat. Mengutip data dari Biro Pusat Statistik, sekitar tahun 1955 sudah ada lebih dari 1,5 juta penduduk di Jakarta.
Dari jutaan angka ini, tentu tidak semuanya memberikan dampak positif terhadap pembangunan kota. Ada pula yang menjadi "beban" pemerintah. Pada saat bersamaan, pemerintah Jakarta sedang gencar-gencarnya membangun infrastruktur baru. Saat itu, pemerintah baru saja menyelesaikan pembangunan jalan raya dari Istana Negara hingga daerah Semanggi, kelak dinamai Jl. Sudirman dan Jl. M.H Thamrin.
Beratnya beban ini membuat pemerintah berada dalam posisi sulit, sekaligus juga menimbulkan permasalahan rumit: pemasukan sulit dan anggaran menipis, atau "besar pasak daripada tiang".
Kondisi ini membuat Walikota Jakarta, Sudiro, harus mencari cara untuk mendapat keuntungan. Terbesitlah konsep jalan berbayar. Konsepnya sederhana. Apabila ingin melintasi jalan tersebut, maka pengguna harus membayar biaya sebelum masuk.
Langkah ini dipercaya akan menaikkan pendapatan pemerintah secara drastis. Sayang, ide ini gagal terwujud. Menurut Subagijo dalam Sudiro Pejuang Tanpa Henti (1981), banyak yang tidak setuju atas langkah ini karena dinilai tidak efektif dan memberatkan warga.
Dua dekade kemudian, situasi berubah. Jakarta semakin tumbuh dan ramai. Mulai dari penduduk, bangunan, sampai kendaraan pribadi. Saat tahun 1970-an, tercatat ada 4,5 juta penduduk dan 540 ribu di antaranya memiliki kendaraan pribadi. Dampaknya membuat jalan raya yang tersedia pun sudah cukup padat dan banyak yang rusak.
Begitu juga dengan jalan penghubung antarkota. Jalan raya Jakarta-Bogor menjadi fokus utama pemerintah. Kala itu, jalanan tersebut semakin padat dan dinilai tidak lagi efektif saat dilintasi: menghabiskan waktu lama karena macet yang membuat pengguna merasa boros. Penyebabnya, bukan hanya disebabkan oleh tingginya mobilitas warga semata, tetapi juga karena keberadaan pabrik semen.
Sejak tahun 1971 di Cibinong memang terdapat pabrik Kaiser Cement asal AS yang produksinya per tahun mencapai 1,2 juta ton. Truk-truk pengangkut semen inilah yang membuat tiap pengendara mengeryitkan dahi tiap melintas.
Atas dasar inilah, Menteri Pekerjaan Umum dan Kelistrikan, Sutami, mencetuskan megaproyek jalan raya berbayar atau jalan tol antara Jakarta-Bogor. Menurut Iryan Ali Herdiansyah dalam "Dinamika Pembangunan Tol Jagorawi 1978-1979" (Jurnal Ilmu Sejarah, 2022), Sutami memandang skema ini sangat menguntungkan karena pemerintah akan mendapat cuan besar dari pengguna.
Seandainya tarif yang diberlakukan sekitar Rp 300 - Rp 500, maka diproyeksikan akan terdapat keuntungan Rp 100 juta per bulan. Biaya operasionalnya pun akan diambil dari keuntungan, sehingga tidak ada lagi pengeluaran pemerintah dan lebih hemat.
Atas dasar ini, usulan Sutami diterima Soeharto. Dalam Jejak Langkah Pak Harto 27 Maret 1973-23 Maret 1978 (2003), pada 1973 dimulailah megaproyek sepanjang 59 km dengan dana 2 milliar rupiah yang sangat besar di masanya. Uang ini berasal dari APBN dan utang luar negeri. Dari anggaran tersebut, 40%-nya adalah pinjaman AS yang harus dibayar selama 20 tahun.
Pemerintah pun menunjuk kontraktor asal Korea Selatan, yakni Hyundai untuk mengerjakan proyek dan meminta perusahaan AS, Amman-Whitney & Trans Asia Engineering, sebagai pengawas. Tercatat ada 30 ribu pekerja yang terlibat.
Fakta ini menjadikan tol yang kelak disebut Jagorawi (Jakarta-Bogor-Ciawi) ini menjadi proyek pertama yang menggunakan utang luar negeri dan kontraktor asing.
Pembangunan tol pertama di Indonesia ini juga menorehkan catatan kelam.
Paling terdampak adalah warga sekitar. Mereka harus rela pergi dari tempat tinggalnya karena harus digusur untuk jalan tol. Tercatat ada ribuan rumah dan ratusan hektar perkebunan dan lahan yang diterabas untuk pembangunan. Sayangnya, ganti rugi yang dilakukan pemerintah pun tidak optimal, yakni hanya 25 rupiah per meter.
Besaran ini tidak sebanding dengan keuntungan yang sudah diproyeksikan pemerintah. Menerima ini masyarakat tidak mungkin melakukan protes.
Selain itu, masih dalam laporan "Dinamika Pembangunan Tol Jagorawi 1978-1979", tercatat ada 22 pekerja yang tewas karena kecelakaan kerja selama 5 tahun proyek. Tak hanya pada proses pembangunan, saat resmi beroperasi pada tahun 1978 pun, jalan tol banyak memakan korban. Masyarakat lokal belum terbiasa akan perubahan ini.
Banyak masyarakat lokal yang menjahili pengendara mobil, seperti melempar batu hingga kaca pecah, menyeberang tiba-tiba, dan menghalangi jalan dengan bambu. Aksi tak terpuji ini jelas mengganggu konsentrasi pengemudi dan membuat angka kecelakaan di sana meningkat drastis.
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Wuss! Tol Baru, JKT-Bekasi 20 Menit, Sentul-Karawang 40 Menit