
Aksi Sri Mulyani: Tax Amnesty II, PPN 11% Hingga Pajak Kripto

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah penuh tantangan gejolak ekonomi, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berhasil membukukan penerimaan pajak yang fantastis pada tahun ini.
Penerimaan pajak telah mencapai Rp 1.634,36 triliun hingga 14 Desember 2022. Realisasi tersebut telah mencapai 110,06% dari target di dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2022 yang sebesar Rp 1.485 triliun.
Realisasi pajak hingga 14 Desember 2022 tersebut juga tercatat naik 41,93% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu yang sebesar Rp 1.152,5 triliun.
"Penerimaan pajak sudah menembus 110,06% dari target yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) 98/2022. Naik 41,93% dibandingkan dengan penerimaan tahun lalu," jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita edisi Desember 2022, dikutip Selasa (27/12/2022).
Sri Mulyani mengatakan, tercapainya target penerimaan pajak terjadi karena berbagai faktor, mulai dari berkah 'durian runtuh' harga komoditas atau windfall, hingga peningkatan konsumsi masyarakat.
Berhasilnya capaian penerimaan pajak negara di tahun ini juga tak lepas dari adanya implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
"Pajak akan terus dilakukan perbaikan dari sisi kinerjanya termasuk reformasi, beberapa yang sudah kita lakukan termasuk undang-undang HPP memberikan dampak yang positif dan langsung," jelas Sri Mulyani.
Di mana lewat UU HPP, Kementerian Keuangan memberlakukan lagi program pengungkapan sukarela (PPS) alias pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II. Serta menarik tarif pajak baru kepada masyarakat, yang mulai berlaku di tahun ini.
Tarif pajak baru yang dimaksud diantaranya tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang naik dari sebelumnya 10% menjadi 11%, pajak financial technology (Fintech), hingga pajak kripto.
Seperti diketahui, pemerintah memberikan kesempatan kepada wajib pajak (WP) untuk melaporkan atau mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela.
Wajib pajak dapat membayarkan pajak penghasilan (PPh) berdasarkan pengungkapan harta yang dilaksanakan selama 6 bulan atau sejak 1 Januari hingga 30 Juni 2022.
Perlu diketahui, ada dua pilihan kebijakan yang ada dalam program Tax Amnesty Jilid II di tahun ini. Kebijakan I yaitu 11% untuk harga deklarasi luar negeri, 8% atas harta di luar negeri repatriasi dan harta deklarasi dalam negeri, dan tarif 6% untuk harta di luar negeri repatriasi dan harta deklarasi dalam negeri yang diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN), hilirisasi Sumber Daya Alam (SDA)/energi baru terbarukan.
Sementara tarif yang dikenakan pada Kebijakan II adalah 18% untuk harta deklarasi luar negeri, 14% atas harta di luar negeri repatriasi dan harta deklarasi dalam negeri, dan 12% untuk harta di luar negeri repatriasi dan harta deklarasi dalam negeri yang diinvestasikan dalam SBN, hilirisasi SDA, dan energi baru terbarukan.
PPS alias Tax Amnesty Jilid II ini tercatat memberikan tambahan terhadap penerimaan pajak sebesar Rp 61,01 triliun. Pendapatan itu diperoleh dari pajak penghasilan (PPh) para peserta PPS. Di mana nilai PPh didominasi oleh kebijakan I sebesar Rp 32,91 triliun, sedangkan pada kebijakan II sebesar Rp 28,10 triliun.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Tax amnesty jilid II yang telah berlangsung selama 6 bulan tersebut telah diikuti oleh 247.918 wajib pajak (WP) dengan 308.059 surat keterangan.
Nilai harta bersih dari deklarasi dalam negeri sebesar Rp 498,88 triliun dan nilai harta bersih dari repatriasi sebesar Rp 13,70 triliun. Sementara itu deklarasi luar negeri sebesar Rp 59,91 triliun dan dengan komitmen investasi sebesar Rp 22,34 triliun.
Berlaku sejak 1 April 2022, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10% naik menjadi 11%. Tarif PPN ini akan bertahap naik hingga 12% pada 2025. Sementara pengenaan pajak Fintech dan Kripto berlaku mulai 1 Mei 2022.
Sri Mulyani mengungkapkan hadirnya UU HPP telah memberikan dampak yang positif bagi keseluruhan penerimaan negara yang realisasinya sudah tercatat hingga 14 Desember 2022.
Dalam konferensi pers APBN Kita Edisi Desember 2022, Sri Mulyani menjelaskan, penerimaan pajak fintech dan P2P lending telah terealisasi sebesar Rp 209,8 miliar, sejak dibayarkan dan dilaporkan pada Juni hingga 14 Desember 2022.
"Pajak fintech, P2P Lending sudah bayar PPh 23 atas bunga pinjaman yang mereka terima, mencapai Rp 121,65 miliar dan PPh 26 final atas bunga pinjaman mencapai Rp 88,15 miliar," jelas Sri Mulyani dikutip Selasa (27/12/2022).
Kemudian, untuk pajak kripto, sejak dibayarkan dan dilaporkan pada Juni hingga 14 Desember 2022 sudah terkumpul sebesar Rp 231,75 miliar. Terdiri dari PPh 22 atas transaksi aset kripto melalui PPMSE dalam negeri dan penyetoran sendiri sebesar Rp 110,4 miliar dan PPN dalam negeri atas pemungutan oleh non bendaharawan sebesar Rp 121,31 miliar.
Sementara itu, kinerja penerimaan negara dari kebijakan kenaikan PPN menjadi 11%, kata Sri Mulyani juga memberikan kontribusi ke penerimaan lebih dari Rp 5 triliun secara berturut-turut setiap bulannya, sejak tarif ini diterapkan.
"Kenaikan PPN 1% yang diatur di dalam UU HPP memberikan kontribusi kenaikan per bulannya lebih dari Rp 5 triliun," jelas Sri Mulyani.
Secara rinci, penerimaan pajak dari penyesuaian tarif PPN 11%, yakni sebesar Rp 1,96 triliun pada April 2022, kemudian naik menjadi Rp 5,74 triliun pada Mei 2022. Selanjutnya naik menjadi Rp 6,81 triliun pada Juni 2022, Rp 7,15 triliun pada Juli 2022, naik lagi menjadi Rp 7,28 triliun pada Agustus 2022.
Kendati demikian pada September 2022, penerimaan negara dari PPN turun menjadi sebesar Rp 6,87 triliun, dan naik lagi menjadi Rp 7,62 triliun pada Oktober 2022 dan Rp 7,57 triliun pada November 2022.
"Sampai 14 Desember ada Rp 2,57 triliun dan sampai akhir tahun (2022) masih harus dihitung," jelas Sri Mulyani. Angka keseluruhan penerimaan negara hingga setahun penuh 2022 baru akan diketahui pada awal tahun 2023.
Untuk diketahui, pajak atas transaksi aset kripto baik PPh maupun PPN, mulai dipungut sejak 1 Mei 2022 seiring dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 68/2022.
PPh yang dipungut atas transaksi aset kripto adalah PPh Pasal 22 yang bersifat final. Bila perdagangan aset kripto dilakukan melalui exchanger yang terdaftar Bappebti, PPh Pasal 22 final yang dikenakan adalah sebesar 0,1%.
Kemudian, apabila perdagangan dilakukan melalui exchanger yang tidak terdaftar di Bappebti, tarif PPh Pasal 22 final yang berlaku atas transaksi tersebut adalah sebesar 0,2%.
Adapun penyerahan aset kripto melalui exchanger yang terdaftar Bappebti dikenai PPN sebesar 1% dari tarif umum atau sebesar 0,11%. Serta, apabila penyerahan dilakukan melalui exchanger yang tidak terdaftar di Bappebti, tarif PPN naik 2 kali lipat menjadi sebesar 0,22%.
Sama seperti penerapan tarif pajak kripto, tarif pajak untuk layanan pinjam meminjam (P2P lending) atau fintech juga berlaku mulai 1 Mei 2022. Diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/PMK.03/2022.
Dalam PMK 69/2022 tersebut, Sri Mulyani mengatur pengenaan pajak fintech dan P2P lending seperti jasa pembayaran (payment), penghimpunan modal (crowdfunding), pengelolaan investasi, penyediaan asuransi online, dan layanan pendukung keuangan digital.
Adapun, penghasilan bunga yang diterima atau diperoleh pemberi pinjaman online dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 dalam hal penerima penghasilan merupakan wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT).
Kemudian dikenakan pemotongan PPh Pasal 26 jika penerima penghasilan merupakan wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.
Tarif PPh Pasal 21 dikenakan sebesar 15% dari jumlah bruto atas bunga. Sementara itu, tarif PPh Pasal 26 ditetapkan 20% dari jumlah bruto atas bunga atau sesuai dengan ketentuan dalam persetujuan penghindaran pajak berganda.
(cap/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Gak Nyangka! Rafael Alun Pernah Ikut Tax Amnesty Jilid I & II
