Internasional

Dunia Dihantui Polikrisis, PDB Gak Penting Lagi?

Tommy Patrio Sorongan & Lucky L. Leatemia, CNBC Indonesia
Selasa, 27/12/2022 13:20 WIB
Foto: AP/Eranga Jayawardena

Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia sedang tidak baik-baik saja. Krisis ekonomi telah mengantam sejumlah negara pada tahun ini seiring dengan pecahnya perang di Ukraina dan pandemi Covid-19 yang berkepanjangan.

Namun, krisis yang terjadi nyatanya bukan itu saja. Sejumlah aspek seperti faktor lingkungan dan kesejahteraan sosial yang dinilai berperan penting terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan juga sedang dilanda krisis.

Dilansir CNBC International, saat ini tengah terjadi pengumpulan momentum untuk transformasi sistem ekonomi yang lebih berkelanjutan. Bahkan, hal tersebut dinilai telah terjadi sejak 50 tahun lalu setelah think-tank Club of Rome menerbitkan laporan "Batas Pertumbuhan" yang inovatif.


Buku tahun 1972 itu memperingatkan bahwa sumber daya planet ini tidak akan mampu mendukung tingkat eksponensial pertumbuhan ekonomi dan populasi.

"Jika mereka tidak menyadarinya, 50 tahun yang lalu kita sudah perlu bergeser. Saya pikir sekaranglah waktunya karena kita dihadapkan pada polikrisis," kata Sandrine Dixson-Declève, salah satu presiden think-tank Club of Rome kepada CNBC International, dikutip Senin (26/12/2022).

Adapun, istilah "polikrisis" mengacu pada krisis yang terjadi di berbagai sistem global sehingga menghasilkan kerugian yang lebih besar daripada krisis yang terjadi secara agregat.

"Tidak hanya planet kita sakit karena skenario pertumbuhan yang berkelanjutan, karena kita telah melampaui penggunaan sumber daya alam yang sehat, tetapi orang-orang kita makin sakit, dan kaum muda kita menghasilkan uang makin sedikit," kata Dixson-Declève.

Terkait dengan polikrisis yang telah mengancam berbagai bidang kehidupan tersebut, negara-negara yang tergabung dalam koalisi Pemerintah Ekonomi Kesejahteraan berniat untuk mengubah indikator pertumbuhan ekonomi. Hal ini untuk menekan poin-poin kesejahteraan warga.

Koalisi yang beranggotakan Finlandia, Islandia, Skotlandia, Wales, dan Selandia Baru itu, berniat meninggalkan gagasan bahwa persentase perubahan produk domestik bruto (PDB) merupakan indikator kemajuan yang baik.

Sebaliknya, mereka berencana membingkai ulang kebijakan ekonomi untuk memberikan kualitas hidup bagi semua orang yang selaras dengan lingkungan.

"Kebutuhan akan model ekonomi baru tidak pernah sejelas ini. Menurut saya itulah mengapa kami melihat minat yang begitu besar terhadap pendekatan ekonomi kesejahteraan, baik di sini di Skotlandia maupun di seluruh dunia," kata Menteri Pertama Skotlandia Nicola Sturgeon.

"Membangun ekonomi yang sejahtera merupakan tantangan besar bagi negara manapun, kapanpun, dan krisis yang kita hadapi saat ini membuatnya makin sulit. Tetapi krisis juga menggarisbawahi mengapa kita perlu menjadikan transformasi ini sebagai hal yang mendesak."

Hanya dalam beberapa bulan terakhir, Selandia Baru menerbitkan Laporan Kesejahteraan nasional pertamanya. Selain itu, Uni Eropa (UE) menyadari perlunya beralih ke ekonomi kesejahteraan dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meluncurkan inisiatif yang menyerukan kesejahteraan sebagai inti dari pemulihan ekonomi.

Di antara temuan yang dipublikasikan aliansi itu pada 24 November lalu, laporan ditemukan kesenjangan yang lebar dan semakin besar antara kesejahteraan warga yang lebih tua dan warga yang lebih muda, dengan warga yang lebih tua bernasib lebih baik dalam berbagai metrik.

Selain negara-negara dalam aliansi itu, Australia, Kanada, dan Kosta Rika termasuk di antara beberapa negara yang telah bekerja sama erat dengan kemitraan Pemerintah Ekonomi Kesejahteraan dalam beberapa bulan terakhir. Diketahui, Masyarakat di negara pasca-pertumbuhan adalah masyarakat yang menolak permintaan akan pertumbuhan ekonomi yang konstan.

"Kami ingin melihat melampaui PDB untuk memahami kemajuan, tetapi kami tidak memiliki ukuran kesejahteraan tunggal. Jadi kami perlu melihat berbagai indikator dan bukti untuk memahami kemajuan dalam arti yang lebih luas ini," kata kepala penasihat ekonomi di Departemen Keuangan di Selandia Baru, Dominick Stephens.

"Ini membantu kita semua untuk memahami di mana Selandia Baru melakukannya dengan baik, di mana kita tertinggal, dan bagaimana kesejahteraan dialami secara berbeda untuk orang yang berbeda di negara kita."

Sebelumnya, Senator AS Robert F. Kennedy mengatakan bahwa PDB suatu negara mengukur segala sesuatu "kecuali yang membuat hidup berharga".

Kritik terhadap PDB, yang mewakili nilai total barang dan jasa selama periode waktu tertentu, berpendapat bahwa indikator tersebut menyesatkan karena mengukur "yang baik, yang buruk, dan yang jelek" dari aktivitas ekonomi dan menyebutnya semuanya baik.

Kritik tersebut menyebutkan GDP, misalnya, tidak membedakan antara aktivitas ekonomi yang memberikan kontribusi positif atau negatif terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia dan lingkungan alam.


(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:

Video: AMRO Ungkap Risiko Pembengkakan Rasio Utang RI Terhadap PDB