
Dunia Kacau! AS & RI PHK Massal, Inggris Kurang Tenaga Kerja

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia sedang dilanda pemutusan hubungan kerja massal menjelang pergantian tahun. Amerika Serikat juga mengalaminya, negara lainnya juga bernasib sama sebab banyak yang akan mengalami resesi pada 2023.
Namun, di Inggris saat ini justru kekurangan tenaga kerja. Hasil survei yang dilakukan Confederation of British Industri (CBI) yang menunjukkan sebanyak tiga perempat responden dunia usaha mengalami kelangkaan tenaga kerja dalam 12 bulan terakhir.
Survei tren tenaga kerja tahunan yang dilakukan bersama Pertemps Network Group tersebut juga menunjukkan kelangkaan tenaga kerja berdampak material bagi perusahaan untuk bisa beroperasi dengan kapasitas penuh.
Banyak perusahaan merespon kelangkaan tenaga kerja tersebut dengan berinvestasi melalui training, yang tentunya menambah beban usaha, juga dengan menaikkan gaji guna mempertahankan pekerja terampil mereka serta menarik pekerja baru.
Masalahnya, dengan menaikkan gaji, inflasi tinggi yang sedang dialami Inggris bisa bertahan dalam waktu yang lama.
Hal ini membuat Inggris diperkirakan akan mengalami "dasawarsa yang hilang" atau "lost decade".
Jepang pernah mengalaminya, di mana pertumbuhan ekonominya sangat rendah hingga negatif pada periode 1991 - 2000.
"Inggris dalam stagflasi - dengan inflasi yang sangat tinggi, pertumbuhan ekonomi negatif, penurunan produktivitas dan investasi bisnis," kata Tony Danker, Direktur Jenderal CBI sebagaimana dilansir CNN Business, Rabu (5/12/2022).
CBI menyatakan Inggris kini mengalami kekurangan tenaga kerja terampil. Sebanyak tiga perempat perusahaan dilaporkan mengalami kesulitan mendapatkan tenaga kerja yang mereka butuhkan.
"Kita akan melihat dasawarsa yang hilang jika tidak ada langkah yang diambil. Produk domestik bruto (PDB) adalah pengganda sederhana dari dua faktor: manusia dan produktivitas mereka. Kita tidak memiliki sumber daya manusia yang kita perlukan, begitu juga dengan produktivitasnya," tambah Danker.
CBI memprediksi PDB Inggris akan minus 0,4% pada tahun depan, berbanding terbalik dengan proyeksi yang diberikan Juni lalu yakni tumbuh 1%.
Berbeda dengan Inggris, Amerika Serikat justru sedang menghadapi PHK massal.
Kondisi di AS saat ini bahkan lebih parah ketimbang krisis finansial yang melanda Amerika pada 2008 - 2009, khususnya di sektor teknologi.
Pada 2008, total PHK di sektor teknologi mencapai 65.000. Setahun berselang, PHK juga terjadi dengan jumlah kurang lebih sama, berdasarkan data dari perusahaan Challenger, Gray & Christmas yang dikutip Business Insider India, Minggu (18/12/2022).
Sementara di tahun ini, jumlah PHK massal sektor teknologi AS sudah mencapai 150.000 tenaga kerja.
Perusahaan besar seperti Meta, Twitter, Cisco, Amazon, HP dan masih banyak lagi semuanya melakukan PHK. Menurut laporan tersebut ada 965 perusahaan teknologi yang melakukan PHK di tahun ini.
Kondisi ini diperkirakan masih akan berlanjut di tahun depan, dan tidak hanya di sektor teknologi saja.
Raksasa perbankan AS, Goldman Sachs berencana memangkas 8% karyawannya pada Januari 2023.
CNBC Internasional yang mengutip sumber terkait melaporkan PHK akan terjadi dilakukan di semua divisi, dengan total sekitar 4.000 karyawan.
Perusahaan-perusahaan lain pun diperkirakan akan menyusul.
"Banyak perusahaan harus kembali menyesuaikan organisasi mereka, tidak hanya Goldman. Perusahaan merekrut terlalu banyak karyawan, dan sekarang mereka mem-PHK dengan jumlah yang banyak juga," kata Mike Karp, CEO Option Group, sebagaimana dilansir CNBC International, Minggu (18/12/2022).
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Badai PHK Juga Landa Indonesia
Di Indonesia juga sama. Dua sektor yang paling rentan mengalami PHK massal yakni manufaktur dan startup. Hal tersebut juga diungkapkan staf khusus menteri ketenagakerjaan M. Reza Hafiz.
"Sektor yang paling berdampak itu manufaktur, kedua mungkin di startup tapi sektor teknologi, informasi dan komunikasi yang perusahaannya masih di level startup," ungkapnya dalam Indef School of Political Economy Jurnalisme Ekonomi, Selasa (14/12/2022).
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menjadi yang pertama menderita akibat pelambatan ekonomi global.
Ekspansi sektor manufaktur yang mulai melambat menjadi indikasi peningkatan risiko PHK massal.
S&P Global awal bulan ini melaporkan aktivitas sektor manufaktur yang dilihat dari purchasing managers' index (PMI) mengalami pelambatan ekspansi yang cukup tajam. Pada November, PMI manufaktur dilaporkan sebesar 50,3, turun dari bulan sebelumnya 51.8.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atas 50 adalah ekspansi. Ketika kontraksi terjadi, maka PHK massal berisiko semakin meluas.
S&P Global melaporkan penyebab penurunan tersebut terjadi akibat rendahnya demand, yang menjadi indikasi pelambatan ekonomi global, bahkan menuju resesi di tahun depan.
Akibat rendahnya demand, output juga rendah, dan tingkat perekrutan karyawan mulai melambat. Satu lagi indikasi PHK massal berisiko meluas.
"Keyakinan bisnis secara keseluruhan menurun pada November, menunjukkan sektor manufaktur berisiko mengalami kontraksi kecuali ada peningkatan demand yang signifikan," kata Jingyi Pan, economic associate director di S&P Global Market Intelligence.
Sementara itu Sekjen Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengungkapkan, kini sudah ada lebih 100 ribu buruh tekstil yang terkena pemangkasan oleh perusahaan. Angka itu, ujarnya, bisa lebih besar lagi jika memperhitungkan tenaga penjahit industri kecil dan skala mikro.
"Kalau kondisi ini tidak segera diantisipasi pemerintah, bisa sampai 500 ribu orang di kuartal pertama tahun 2023 yang kena pengurangan. Tapi pemerintah nggak percaya," kata Redma kepada CNBC Indonesia dikutip Rabu (14/12/2022).
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Warning! Kemnaker Tangani Puluhan Kasus PHK Massal di RI