Terbongkar! Begini Nasib Proyek Jet Siluman KF 21 RI-Korea
Jakarta, CNBC Indonesia - Proyek pengembangan pesawat tempur siluman KFX/IFX yang dikenal dengan KF-21 Boramae antara Indonesia dan Korea Selatan ternyata tidak semulus yang dibayangkan. Sejak diteken pada 2010, hingga saat ini proyek tersebut masih terkatung-katung.
Sekjen Kemhan periode 2010-2013 Marsekal (Purn) Eris Heryanto menceritakan fase pengembangan KF-21 Boromae atau KFX. Pada awalnya, dia menuturkan tidak ada masalah berarti.
Setelah MoU pada 15 Juli 2010 antara Sekjen Kemenhan RI dan Defense Acguisition Program Administration (DAPA) Korea, masuklah ke fase pengembangan teknologi yang dimulai pada 2011 dibuka dengan riset.
"Ini sistem kerja sama di development phase. Ini belum jadi masalah, DAPA MoU dengan kita, pelaksanaannya di Korea," paparnya dalam Workshop FPCI '11 Years and Counting: Assessinng Indonesia-Korea Defense Cooperation, dikutip Senin (19/12/2022).
Saat itu, pihak yang terlibat adalah Balitbang Kemenhan RI yang membawahi Korea Aerospace Industries (KAI) dan LIG NEX 1 Ltd. serta industri lainnya. Ada pula PT Dirgantara Indonesia (PTDI), ITB, dan TNI AU.
Kemudian, saat engineering and manufacturing development (EMD) phase di 2012-2016, proyek ini vakum karena pihak Korea hold atau menunda kerja sama. Eris menuturkan ada pergantian pemerintah dan harus dapat izin dari parlemennya.
Baru pada 2016 Oktober ada penandatanganan project agreement antara Indonesia dan Korea agar proyek ini bisa masuk ke engineering manufacturing development phase.
"Ini struktur kerja sama yang ditentukan bahwa pihak Korea dan Indonesia membentuk yang disebut JPMO (Joint Project Management Office)," paparnya.
Sayangnya, Eris mengemukakan Indonesia memiliki kelemahan.
"Kelemahannya, Indonesia enggak tahu kontrak yang sudah disepakati antara pemerintah Korea dengan KAI sehingga penandatanganan cost share agreement (dilakukan) antara KAI dan pemerintah Indonesia, harusnya ini dengan pemerintah Korea," paparnya.
Sementara itu, KAI mitranya PTDI membuat work assignment agreement.
"Ini adalah rencana kegiatan pada saat EMD phase, sudah dimulai tahun 2016, kita harusnya mengirim (tenaga) teknik kita. Tapi di 2016-2017 itu, kita belum membayar cost share," paparnya.
Indonesia, menurut Eris, belum membayar cost share karena saat itu alokasinya berada di Kemenhan. Menurut Eris, anggaran cost share saat itu dimanfaatkan untuk kepentingan lebih penting.
"Akibatnya Kemenkeu gak bersedia mengganti sampai ada perintah dari Presiden. Itu kenapa kita gak bayar cost share," tegasnya.
Dia memandang jika perjanjian ini sudah dituangkan dalam bentuk Perpres, seharusnya urusan keuangan bukan lagi ranah kementerian. Ini sudah menjadi komitmen pemerintah dengan pemerintah yang melakukan kerja sama. Menurutnya, masalah cost share ini masih dibicarakan antara Kemenhan dengan PTDI.
Saat Presiden Joko Widodo menjabat, beliau memerintahkan adanya evaluasi kerja sama ini. Evaluasi butuh waktu 2 tahun, yakni pada tahun 2018 hingga 2019.
Evaluasi dilakukan antara kedua belah pihak. Selagi evaluasi tersebut, Korea tetap menjalankan program.
"Akibatnya kita agak terlambat dan teknisi kita sebagian dipulangkan dan saat Covid, kembali semua ke Indonesia. Ini adalah masalah saat itu yg terjadi," ujarnya.
(haa/luc)