Ironi RI Disuruh Matikan Batu Bara, Inggris Malah Gali Lagi
Jakarta, CNBC Indonesia - Inggris kembali menggali tambang batu bara pertamanya setelah 30 tahun. Tambang itu akan digunakan untuk menyuplai industri pembuatan baja yang diharapkan dapat menciptakan 500 pekerjaan baru.
The Woodhouse Colliery akan dikembangkan oleh West Cumbria Mining di barat laut Inggris. Perusahaan akan mengekstrak batubara kokas yang biasa digunakan dalam industri baja daripada untuk pembangkit listrik.
Mengutip CNBC International, Minggu (18/12/2022), sebenarnya proyek tersebut telah diresmikan pada tahun 2014. Namun kecaman dari panel penasehat iklim independen pemerintah Inggris serta aktivis dan organisasi iklim, termasuk Greta Thunberg, membuatnya tak berjalan mulus.
"Sebagian besar batubara yang dihasilkan diharapkan akan diekspor ke Eropa," tulis media itu lagi.
"Dokumen perencanaan menunjukkan bahwa lebih dari 80% batu bara akan diproduksi tambang setiap tahun setelah lima tahun, dikirim ke terminal ekspor di pantai timur Inggris," tambahnya.
Sebenarnya, Inggris telah mengesahkan undang-undang yang mewajibkannya untuk membawa semua emisi gas rumah kaca ke nol bersih pada tahun 2050. Emisi gas rumah kaca dari pembakaran batu bara adalah satu-satunya penyumbang terbesar perubahan iklim.
Sebelumnya, awal tahun 2022, Ketua Komite Perubahan Iklim independen Inggris, John Gummer mengatakan proyek Woodhouse sama sekali tidak dapat dipertahankan.
Tambang batu bara itu berukuran sekitar 23 hektar, dibangun dengan biaya yang diperkirakan pada tahun 2019 sebesar 165 juta pound dan diusulkan untuk dioperasikan selama 50 tahun.
Dalam catatan, Inggris pernah mempekerjakan 1,2 juta orang di hampir 3.000 tambang batu bara. Tambang terakhir ditutup pada tahun 2015.
Kampanye Perubahan Iklim?
Diaktifkannya kembali tambang batu bara ini jelas bertolak belakang dengan yang selama ini digembar-gemborkan bahwa dunia harus berupaya untuk mengurangi emisi karbon demi menekan dampak perubahan iklim dan kenaikan suhu.
Menjawab hal itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyatakan seharusnya negara maju bertanggung jawab atas penurunan gas emisi karbon dalam mendukung netral karbon atau Net Zero Emissions (NZE).
"Negara-negara maju itu punya tanggung jawab besar untuk menurunkan itu, sebenernya Net Zero Emissions (NZE) mereka harus lebih awal dari negara-negara berkembang," ungkapnya kepada CNBC Indonesia.
Fabby menambahkan, target netral karbon dari negara maju seharusnya justru lebih cepat daripada negara berkembang. Fabby mengungkapkan negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Perancis harus mendahului netral karbon di tahun 2040, ketimbang negara berkembang, seperti Indonesia yang menargetkan NZE di 2060 atau lebih cepat.
"Jadi menurut saya itu yang harus kita dorong, saya sih kalau bilang mereka NZE di 2040 sehingga memberikan waktu bagi negara seperti Indonesia melakukan transisi yang lebih berkeadilan," tuturnya.
Fabby menambahkan, dalam perjalanannya menuju pencegahan perubahan iklim hingga 2 derajat, maka negara maju harus mencapai puncak emisi atau emission peak sebelum 2030.
"Tapi kalau untuk mencegah krisis iklim temperatur di atas 2 derajat, negara-negara maju itu harus mencapai emission peak-nya sebelum 2030 dan NZE 2040. Artinya, mereka dalam waktu tidak terlalu lama sebelum 2030 menghentikan penggunaan batu bara baik untuk listrik maupun untuk produksi misal baja," tuturnya
(hsy/hsy)