Tak Terduga, Ini Respons Kemendag Saat Bank Dunia Sentil RI

Anisa Sopiah, CNBC Indonesia
15 December 2022 17:02
Aktifitas kapal ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (15/3/2021). Bandan Pusat Statistik (BPS) merilis laporan ekspor dan impor tecatat US$ 15,27miliar atau mengalami kenaikan 8,56% dibandingkan pada Februari 2020 (year-on-year/YoY) yang mencapai US$ 14,06 miliar. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Ilustrasi Ekspor- Impor (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Dunia (World Bank) menyoroti sejumlah kebijakan impor yang diberlakukan pemerintah Indonesia. Senior Economist World Bank Csilla Lakatos mengatakan, kebijakan non-tarif (non-tariff measures/ NTMs) yang diberlakukan justru menambah beban biaya tambahan bagi sektor usaha di Indonesia.

Menurutnya, kebijakan non-tarif yang diberlakukan mulai dari perizinan impor, inspeksi sebelum pengapalan, Standar Nasional Indonesia (SNI), dan restriksi di pelabuhan masuk.

Hal itu disampaikan saat peluncuran 'Indonesia Economic Prospect - December 2022 edition, Trade for Growth and Economic Transformation' di Jakarta, Kamis (15/12/2022).

Lakatos mengkritisi, kebijakan yang dikenakan atas impor peralatan mesin, produk migas, besi, farmasi, produk farmasi, produk komputer dan elektronik, hingga peralatan transportasi.

"Rekomendasi kami yang pertama adalah menyederhanakan NTM dan menghilangkan yang tidak perlu. Menurut analisis kami, NTM menambah tarif rata-rata setara dengan 30%. NTM ini 15 kali tarif di Indonesia," kata Lakatos.

"NTM ini sangat memberikan beban yang signifikan pada bisnis Indonesia. Dengan mereformasi semua ini diharapkan bisa mendatangkan keuntungan besar bagi Indonesia," tambah Lakatos.

Merespons hal itu, Kepala Badan Kebijakan Perdagangan (BKPerdag) Kementerian Perdagangan (Kemendag) Kasan mengatakan, kebijakan non-tarif bukan sesuatu yang buruk, selama tidak berubah menjadi hambatan perdagangan (trade barrier) karena akan memicu biaya yang besar.

"NTM yang kita pertahankan itu bisa kita kaitkan dengan kesehatan, liungkungan, force majeur, dan moral hazard. Itu semua dibolehkan sesuai aturan WTO ( World Trade Organization/ badan perdagangan dunia)," kata Kasan.

"Tapi yang di luar itu yang sifatnya bisa kita manage dan untuk keperluan tertentu, itu bisa kita evaluasi ulang. Jadi kan kita menyadari hubungan tadi. Input kita perlu untuk meningkatkan volume ekspor kita," tambahnya.

Di sisi lain, Kasan mengatakan, pihaknya selalu melakukan evaluasi atas dampak setiap kebijakan yang diberlakukan pemerintah. Yang kemudian akan dijadikan pemerintah, KemenkumHAM sebagai acuan untuk suatu harmonisasi aturan.

"Saat mau harmonisasi, itu harus ada buktinya. Jadi ini bagian dari memastikan regulasi itu tidak melanggar aturan, transparan, dan memberikan manfaat. Bukan kemudian jadi trade barrier," tegasnya.

Di tahun 2016, kata dia, pernah dilakukan kajian atas setiap kode HS. Karena itulah, jelasnya, kini ada mekanisme pengawasan border oleh Bea Cukai, dan ada juga pengawasan post border. Yang kemudian kini jadi bagian dari Omnibus Law.

Kasan menegaskan, tidak ada konflik kepentingan antarkementerian.

"Ini kan rekomendasi dari laporan studinya World Bank. Saya apresiasi semua masukan laporan ini. Tapi sekali lagi, tidak semuanya kita fully agreed yang mereka temukan. Ya ini kan temuan, ini loh ada NTM yang menghambat perdagangan. Ya nanti kita evaluasi. Begitu saja," pungkas Kasan.

Presiden Murka

Sementara itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya berulang-kali telah mengungkapkan kekesalannya atas arus impor barang ke dalam negeri. Bahkan, Jokowi sempat melontarkan kata 'bodoh' akibat maraknya impor.

"Sangat lucu sekali APBN yang kita collect dari pajak, PNBP, royalti kemudian keluar sebagai belanja pemerintah yang dibeli barang impor. Waduh, bodoh banget kita ini kalau kita terus-terus seperti itu," kata Jokowi Saat memberikan pengarahan dalam peringatan HUT RI ke 77 yang diselenggarakan Kadin (24/8/2022).

Sebelumnya, Jokowi juga sempat jengkel gegara impor dan mengeluarkan peringatan keras.

"Jangan sampai kita memiliki APBN Rp 2.714 triliun, APBD Rp 1.197 triliun, belinya produk impor," tegas Jokowi, dikutip Rabu (15/6/2022).

Menko bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan kemudian menindaklanjuti kekesalan Jokowi itu dengan mendorong belanja tingkat belanja di dalam negeri baik dari tingkat Kementerian, Pemda, hingga perusahaan BUMN. Ini juga dijadikan instrumen untuk pengendalian inflasi dan pengentasan kemiskinan.

Luhut menjelaskan realisasi belanja produk dalam negeri oleh Kementerian/Lembaga, Pemda hingga BUMN sudah mencapai Rp 468,29 triliun atau 49% dari komitmen Rp 937,2 triliun.

Selain itu penayangan produk e-catalog saat ini sudah mencapai 1,24 juta barang, yang diyakini sampai akhir tahun 2022 mencapai 1,5 juta.


(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bank Dunia Bawa Kabar Buruk Buat China, RI Kena Apesnya!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular