Pensiun Dini PLTU Bisa Selamatkan PLN dari Kerugian?
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah terus mendorong agar Indonesia bisa mencapai target netral karbon atau Net Zero Emissions (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
Adapun salah satu upayanya yaitu dengan mempercepat masa pengakhiran operasional alias pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara yang merupakan salah satu penyumbang emisi terbesar.
Selain bisa menekan emisi karbon, rupanya pemensiunan dini PLTU batu bara dinilai bisa mencegah PT PLN (Persero) dari kerugian yang lebih besar. Kenapa bisa begitu?
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, hal ini bisa terjadi khususnya karena saat ini Indonesia tengah mengalami kelebihan pasokan listrik.
Bila PLN tidak mampu menyerap pasokan listrik dari pembangkit listrik swasta (Independent Power Producers/ IPP), maka PLN akan dikenakan pembayaran penalti. Pasalnya, dalam kontrak jual beli tenaga listrik diberlakukan skema "Take or Pay" (TOP). Artinya, PLN harus mengambil listrik sesuai volume terkontrak. Bila nyatanya mengambil listrik di bawah volume terkontrak, maka PLN harus membayar penalti yang telah disepakati bersama.
Oleh karena itu, agar PLN terhindar dari kerugian yang lebih besar dari pembayaran penalti tersebut, maka menurutnya salah satu caranya bisa dilakukan dengan mempercepat pensiun dini PLTU berusia tua.
"Karena beban finansial yang besar, maka saya menyarankan agar PLN bernegosiasi untuk menurunkan ToP, dan membatalkan PLTU-PLTU yang bisa dibatalkan," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (15/12/2022).
"Selain itu ada potensi 3-4 GW PLTU tua PLN yang bisa dipensiunkan dini, yang bisa mengurangi over supply pembangkit," lanjutnya.
Menurutnya, biaya pensiun dini PLTU akan lebih murah dibandingkan harus membayar denda karena skema TOP selama dua sampai tiga tahun mendatang.
Dia menyebut, setiap 1 GW listrik yang tidak terserap, maka artinya PLN harus membayar Rp 2-3 triliun per tahun. Bila listrik yang tak terserap mencapai 11 GW, maka artinya PLN harus membayar denda hingga Rp 30-an triliun per tahunnya.
"Melakukan pensiun dini ini lebih murah biayanya ketimbang membayar denda akibat TOP selama 2-3 tahun mendatang," ujarnya.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, saat ini nyatanya Indonesia kelebihan cadangan listrik hingga 11 Giga Watt (GW). Daya mampu listrik nasional tercatat sebesar 46,82 GW dengan beban puncak sebesar 35,24 GW. Dengan begitu, maka masih terdapat sisa cadangan operasi sebesar 11,58 GW atau sekitar 32,86%.
Fabby mengungkapkan, besaran kerugian yang ditanggung oleh PLN tergantung pada kesepakatan dari negosiasi dengan perusahaan listrik swasta (IPP).
"Kelebihan listrik tidak baik karena artinya listrik tidak bisa disalurkan dan menimbulkan beban bagi PLN yang membeli listrik dari IPP," ungkapnya.
Fabby membeberkan pada tahun lalu PLN berhasil menghindari kerugian sebesar Rp 37 triliun berkat penundaan beroperasinya PLTU batu bara baru yang seharusnya sudah beroperasi sejak 2021/2022, namun karena pandemi Covid-19 mundur menjadi 2022/2023.
"Berapa besar kerugian PLN tergantung pada term and conditions dan hasil renegosiasi. Tahun lalu PLN berhasil menghindari kerugian Rp 37 Triliun dari penundaan operasi PLTU dari 2020/2021 ke 2022/2023," tuturnya.
Seperti diketahui, permasalahan kelebihan listrik atau over supply listrik hingga kini masih mendera PT PLN (Persero). Hal tersebut imbas dari prediksi pertumbuhan ekonomi yang tidak sesuai harapan, sementara pembangkit baru terus bermunculan.
Setidaknya ada dua PLTU raksasa yang mulai dioperasikan pada 2022 ini. Kedua PLTU batu bara tersebut yaitu PLTU Batang, Jawa Tengah dan PLTU Jawa 4 Tanjung Jati B, Jepara, Jawa Tengah.
Pengoperasian dua pembangkit raksasa itu dilakukan di tengah kondisi listrik Indonesia yang sedang mengalami surplus.
Sebelumnya, Kementerian ESDM menyebutkan bahwa tahun ini Indonesia akan mengalami surplus listrik mencapai 6 GW hingga 7 GW.
Seperti diketahui, PLTU Batang memiliki kapasitas 2 x 1.000 Mega Watt (MW) dioperasikan oleh PT Bhimasena Power Indonesia. Proyek pembangkit senilai US$ 4,2 miliar atau sekitar Rp 62,16 triliun ini dimiliki oleh Adaro Power 34%, JPower dan Itochu masing-masing 34% dan 32%.
Adaro Power merupakan anak usaha dari PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) yang dipimpin oleh Garibaldi "Boy" Thohir.
Sementara PLTU Jawa 4 Tanjung Jati B dioperasikan oleh PT Bhumi Jati Power (BJP). BJP ini dimiliki oleh konsorsium dari tiga perusahaan yaitu Sumitomo Corporation (50%), emiten PT United Tractors Tbk (UNTR) sebesar 25%, dan The Kansai Electric Power Co. Inc. (25%). PT United Tractors (UNTR) sendiri merupakan anak usaha dari PT Astra International Tbk.
PLTU Tanjung Jati B yang beroperasi pada 2022 ini yaitu untuk unit 5 dan 6, berdekatan dengan empat unit lainnya yang telah beroperasi. Rencananya PLTU Tanjung Jati B unit 5 dan 6 ini akan memasok listrik ke PLN selama 25 tahun sejak beroperasi. Proyek ini diperkirakan juga memakan dana hingga US$ 4,2 miliar.
(wia)