Sudah Terasa! Nih Bukti Bahayanya China Bagi Indonesia
Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis neraca perdagangan Indonesia pada periode November 2022. Data tersebut menunjukkan perlambatan ekonomi China sudah terasa ke ekspor dan impor Indonesia.
Ekspor pada November 2022 mencapai US$ 24,12 miliar. Dibandingkan tahun sebelumnya (year on year/yoy) ada kenaikan 5,58%, meskipun khusus minyak dan gas bumi (migas) alami penurunan besar yaitu 15,23%.
Kenaikan ekspor pada November 2022 secara tahunan menjadi yang terendah sejak Oktober 2020 atau dua tahun terakhir di mana pada saat itu ekspor terkontraksi 3,29%.
Sementara dibandingkan dengan bulan sebelumnya (month to month/mtm), ekspor alami penurunan sebesar 2,46% atau kontraksi selama tiga bulan beruntun.
"Mengenai ekspor November itu mengalami perlambatan pertumbuhan, salah satunya pada komoditas batu bara dan CPO karena penurunan volume. Tentu kaitannya terhadap perlambatan permintaan batu bara," ungkap Deputi Bidang Statistik Produksi BPS M. Habibullah dalam konferensi pers, Kamis (15/12/2022)
Pangsa pasar terbesar ekspor batu bara dan minyak kelapa sawit (curde palm oil/CPO) nasional adalah China dan India dan Jepang. India mengalami penurunan terbesar pada bulan ini.
"Perlambatan permintaan batu bara seperti di india, ini disebabkan salah satunya adalah kebijakan peningkatan produksi dalam negeri di india, sehinga mengurangi impor indianya terhadap kita," terangnya.
Ekonom Senior INDEF, Didin S. Damanhuri melihat penurunan ekspor akan terus berlanjut ke depannya. Terutama akibat ekonomi China yang terus memburuk, imbas penanganan kasus covid-19 yang tak terselesaikan.
"China melambat dan menimbulkan penurunan permintaan ekspor dan impor mereka. Pertumbuhan ekonomi China akan terus melandai," kata Didin.
Asian Development Bank (ADB) memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi untuk kawasan Asia dan Pasifik, menyusul perkembangan ekonomi China.
Perekonomian Asia diperkirakan hanya akan tumbuh 4,2% tahun ini dan 4,6% tahun depan, menurut Development Outlook (ADO) 2022. Padahal, pada September lalu, ADB memperkirakan bahwa perekonomian kawasan ini akan tumbuh 4,3% pada 2022 dan 4,9% pada 2023.
"Pembatasan Covid-19 di bawah kebijakan "zero-Covid", bersamaan dengan pasar properti yang sedang dalam kesulitan, telah menyebabkan proyeksi pertumbuhan RRT diturunkan lagi," tulis ADO.
(mij/mij)