Obral Izin Perburuan 'Harta Karun', Inggris Digugat
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Inggris mendapatkan gugatan di pengadilan atas rencana untuk memberikan hingga 130 izin baru untuk eksplorasi minyak dan gas di Laut Utara.
Tiga kelompok aktivis iklim yang terdiri dari Greenpeace, Friends of the Earth, dan Uplift, telah menulis surat kepada Menteri Bisnis, Grant Shapps, dengan menjelaskan alasan di mana mereka menganggap putaran lisensi minyak dan gas lepas pantai terbaru melanggar hukum.
Mereka menyerukan agar keputusan untuk memberikan lisensi baru dibatalkan, dengan alasan bahwa eksplorasi dan pengembangan minyak dan gas baru tidak sesuai dengan aturan Inggris sendiri dan kewajiban iklim internasional.
"Pemerintah mencoba untuk membenarkan ekspansi bahan bakar fosil yang tidak perlu atas dasar bahwa fasilitas produksi tidak akan menghasilkan banyak karbon dioksida, daripada memeriksa dampak pembakaran bahan bakar yang dihasilkan," ujar juru kampanye minyak dan gas di Greenpeace, Phil Evans, dikutip The Guardian, Senin (12/12/2022).
"Para menteri terus memberi lampu hijau pada proyek bahan bakar fosil baru tanpa sepenuhnya mempertimbangkan emisi yang merusak iklim dari pembakaran bahan bakar tersebut. Itu sama sekali tidak bertanggung jawab. Ini seperti mengendus rokok yang tidak menyala dan menyimpulkan bahwa itu tidak akan banyak merugikan."
Evans kemudian juga menyanggah dasar pemerintah dalam penerbitan izin baru ini. Menurutnya, pembukaan ladang baru dengan dalih lonjakan harga energi pasca perang Rusia-Ukraina adalah alasan yang tidak masuk akal.
"Batu bara, minyak, dan gas baru yang diproduksi di Inggris tidak akan membantu menurunkan tagihan energi, tetapi akan memicu badai yang lebih mematikan, naiknya permukaan laut, banjir, dan kekeringan di seluruh dunia," katanya.
"Jika pemerintah Inggris ingin mempertahankan sedikit pun kredibilitas pada iklim, mereka harus berhenti membuat bom waktu iklim baru dan serius berinvestasi dalam solusi. Jika tidak, kami siap menantang mereka di pengadilan."
Keputusan Inggris untuk terus maju dengan izin baru di Laut Utara, yang dimulai awal tahun ini di bawah masa jabatan Kwasi Kwarteng sebagai Menteri Bisnis dan dilanjutkan oleh penggantinya, Jacob Rees-Mogg, telah mengecewakan para pegiat iklim internasional.
Inggris menjadi tuan rumah KTT iklim COP26 di Glasgow tahun lalu, di mana negara-negara sepakat untuk fokus pada pembatasan kenaikan suhu global hingga 1,5C di atas tingkat pra-industri. Namun forum itu gagal memajukan langkah-langkah ketat yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.
Sejak saat itu, kepemimpinan internasional Inggris di bidang iklim dipertanyakan, setelah serangkaian keputusan termasuk izin baru Laut Utara, tambang batu bara baru, uang tunai untuk proyek bahan bakar fosil di negara berkembang, dan pengurangan lebih lanjut bantuan luar negeri.
Alok Sharma, presiden COP26, dikeluarkan dari kabinet oleh Perdana Menteri Rishi Sunak dan tidak lagi memiliki peran iklim resmi. Menteri iklim, Graham Stuart, juga telah dicopot dari tanggung jawab kabinet.
(luc/luc)