Strong Dollar Belum Berakhir, BI Ungkap Biang Keroknya!

Jakarta, CNBC Indonesia - Fenomena "strong dollar" atau penguatan dollar Amerika Serikat diprediksi akan berlanjut di tahun 2023. Hal ini terjadi karena bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve masih akan menaikkan suku bunga di bulan ini yang diperkirakan sebesar 50 basis poin.
Demikian disampaikan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti, dalam kegiatan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan Bali Nusra, Jumat (9/12/2022).
"Kita masih lihat penguatan dolar luar biasa dan suku bunga Amerika masih akan naik lagi, Desember diperkirakan 50 basis poin atau 0,5%, nanti 2023 masih diperkirakan naik," ungkapnya.
Dia membeberkan sejumlah alasan bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve masih akan menaikkan suku bunga tahun depan.
Pertama, untuk menekan laju inflasi di dalam negeri. Menurutnya, ada kekagetan yang dirasakan negara maju ketika inflasinya berada di kisaran 9% hingga 10% padahal umumnya inflasi mereka hanya berkisar di 2%.
"Negara berkembang ya inflasi bisa tinggi sekali tapi negara maju nggak pernah, kaget mereka dan apa yang dilakukan? dihajar dengan suku bunga. Suku bunganya dinaikin terus sampai akhirnya itu Fed Fund Rates itu bayangkan kalau awal tahun masih 0,25% posisi sekarang sudah di 3,75 sampai 4%, naik 400 basis poin, kenapa ekonomi nggak langsung terpuruk," paparnya.
Padahal, menurutnya langkah yang diambil negara maju dalam menaikkan suku bunga untuk menangani inflasi kurang tepat. Pasalnya, penyebab inflasi datang dari sisi supply sedangkan kebijakan moneter adalah kebijakan yang seharusnya diambil ketika masalahnya berasal dari sisi demand-nya.
"Kenapa mereka naikkan seperti itu? Karena mereka mau menangani inflasi. Inflasi mereka sampai 9% jadi mereka berusaha untuk menangani inflasi dengan kebijakan moneter, padahal masalahnya supply side. Kalau kita bicara kebijakan moneter kan kita lebih fokus demand side," pungkasnya.
Kedua, saat ini kondisi global mengalami VUCA yang tinggi. VUCA merupakan singkatan dari volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity, dimana kondisi global berubah dengan cepat dan sulit untuk diprediksi.
"Jadi ini sudah tumpuk-tumpuk kalau kita bilang global ini mengalami kondisi yang namanya VUCA, volatility tinggi, uncertainty tinggi, complexity sangat kompleks, dan ambiguity," terangnya.
Selain itu, perang Rusia Ukraina yang tidak bisa diprediksi kapan berakhir hingga perubahan iklim yang mengancam dunia juga menjadi alasan gangguan rantai pasok akan terus terjadi. Hal tersebut dapat memicu inflasi, sehingga bisa menyebabkan kebijakan menaikkan suku bunga mungkin dilakukan Amerika untuk merespon hal tersebut.
"Ini akhirnya menyebabkan dunia semakin menjadi nggak jelas, VUCA makin tinggi dan ini kita nggak tahu sampai kapan habisnya khususnya perang Rusia Ukraina, kemudian ada heatwave juga, climate change sehingga distribusi barang segala macam masih terganggu," jelasnya.
[Gambas:Video CNBC]
Ramai Tukar Dolar AS Buat Bayar Utang Sampai Bangun Rumah
(haa/haa)