
Ternyata Ini Biang Kerok Raksasa Migas Minggat dari RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Perusahaan minyak dan gas bumi (Migas) kelas kakap ramai-ramai angkat kaki dari proyek hulu migas di Indonesia. Chevron, Shell, maupun ConocoPhillips telah menyatakan keluar dari proyek hulu migas di Tanah Air.
Terbaru adalah kabar dari Chevron Indonesia Company (CICO) juga menyatakan akan keluar dari proyek gas laut dalam Indonesia Deepwater Development (IDD) di Kalimantan Timur.
Shell juga sejak tiga tahun lalu menyatakan akan keluar dari proyek gas raksasa Blok Masela di Maluku.
Adapun Chevron dan Shell, hingga kini belum resmi keluar dari proyek hulu migas di Indonesia karena masih berproses mencari mitra pengganti.
Lalu, sebenarnya apa alasan utama yang menyebabkan raksasa migas kelas dunia itu hengkang dari Indonesia?
Mengacu data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), ada beberapa hal yang membuat investor tak tertarik untuk berinvestasi di hulu migas di Indonesia, terutama masalah kepastian hukum.
Pasalnya, hingga saat ini belum ada lembaga pasti bersifat permanen yang bisa menaungi Kontrak Kerja Sama (Production Sharing Contract/ PSC) dengan produsen migas. Adapun kelembagaan SKK Migas saat ini disebutkan masih bersifat temporer sejak dibubarkannya Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) oleh Mahkamah Konstitusi pada satu dekade lalu, tepatnya 13 November 2012.
Percepatan Revisi Undang-Undang No.22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) bisa segera dituntaskan. Dengan demikian, ada kepastian hukum terutama terkait kelembagaan atau badan usaha permanen yang bisa berkontrak dengan produsen migas atau Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS Mulyanto menilai, tidak adanya kepastian hukum di sektor hulu migas RI membuat beberapa perusahaan migas kakap global keluar dari Indonesia.
Padahal, lanjutnya, Indonesia membutuhkan para investor tersebut untuk menggenjot produksi migas nasional.
"Di tengah kondisi seperti ini adalah ketidakpastian hukum sehingga menimbulkan hengkangnya perusahaan minyak seperti Total, Chevron, ConocoPhillips, dan Shell di Blok Masela," ujar Mulyanto dikutip Sabtu (19/11/2022).
Menurut Mulyanto, kondisi ini sebetulnya terjadi lantaran tak kunjung selesainya pembahasan Revisi Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas). Oleh sebab itu, ia pun mendorong keseriusan pemerintah untuk segera menggenjot pembahasan Revisi UU Migas.
(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Raksasa Migas Inggris Dapat Sinyal Perpanjangan Kontrak di RI
