Duh Gimana Gak Rawan Krisis, 53% Bensin & 75% LPG RI Impor!
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Indonesia baru saja menerbitkan peraturan terkait penanggulangan krisis dan darurat energi. Kebijakan baru ini tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden No.41 tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan dan Penanggulangan Krisis Energi dan atau Darurat Energi.
Peraturan ini ditetapkan Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 17 Oktober 2022 dan berlaku sejak diundangkan pada 18 Oktober 2022 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly.
Peraturan ini tak lain untuk mengantisipasi pasokan energi di Tanah Air. Seperti diketahui, untuk beberapa jenis komoditas energi, seperti minyak dan Liquefied Petroleum Gas (LPG), saat ini sebagian besar masih bergantung pada impor.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto membeberkan 53% kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) khususnya jenis bensin dalam negeri saat ini berasal dari impor. Bahkan, porsi impor LPG di Indonesia lebih besar lagi, yakni mencapai 75% dari total kebutuhan dalam negeri.
"Datanya sih ini kan ada, untuk bensin saya sampaikan tadi 53% impornya. Itu angkanya 105,5 juta barel. Kemudian, LPG di sini angkanya 75%, ini naik turun angkanya, terakhir atau 6,33 juta ton," paparnya dalam diskusi di Sekretariat Dewan Energi Nasional (DEN), Jakarta, Rabu (16/11/2022).
Besarnya porsi impor komoditas energi ini bukan kah artinya Indonesia sangat rentan terhadap krisis energi? Terutama di tengah ketidakpastian geopolitik dunia dan ancaman krisis energi global?
Djoko menyebutkan, pemerintah terus berupaya untuk menekan angka impor, salah satunya dengan meningkatkan kapasitas kilang minyak dan LPG di dalam negeri, sehingga produksi di dalam negeri bisa meningkat.
Sementara dari sisi konsumsi, menurutnya pemerintah juga berusaha untuk mempercepat transisi energi di sektor transportasi yakni dari kendaraan konvensional berbasis BBM menjadi kendaraan listrik.
"Jadi kita juga sedang berupaya untuk menahan lagi impor terutama mengenai bensin, dengan meng-upgrade kilang, tapi juga kebutuhan juga akan nambah, kita sedang mempercepat kendaraan listrik dan mengaktivasi SPBG (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas). Nah itu semua mengurangi impor BBM kita," jelasnya.
Namun demikian, menurutnya, berdasarkan data terkait penilaian ketahanan energi Indonesia, pada 2019 ketahanan energi Indonesia berada pada tingkat "Tahan" dengan nilai 6,57, meningkat dari 2018 6,43. Bahkan, jauh meningkat dari 2014 yang berada pada tingkat "Kurang Tahan" dengan nilai 5,82.
Adapun tingkat "Kurang Tahan" untuk nilai 4-5,99, tingkat "Tahan" pada nilai 6-7,99. Dan nilai 8-10 merupakan tingkat "Sangat Tahan".
Penilaian ketahanan energi RI ini berdasarkan empat aspek, yaitu ketersediaan energi (availability), kemampuan akses (accessibility), harga terjangkau (affordability), dan ramah lingkungan (acceptability).
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), impor LPG RI dalam satu dekade telah menunjukkan peningkatan tiga kali lipat hingga mencapai 6,34 juta ton pada 2021. Adapun porsi impor LPG pada 2021 telah mencapai 74% dari total kebutuhan. Jumlah ini meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan porsi impor LPG pada 2011 yang "hanya" sebesar 46%.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa nilai impor LPG RI pada 2021 mencapai US$ 4,09 miliar atau sekitar Rp 58,5 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per US$), meroket 58,5% dibandingkan nilai impor pada 2020 lalu yang tercatat US$ 2,58 miliar.
Berdasarkan data Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia, impor minyak mentah Indonesia pada 2021 tercatat mencapai 104,40 juta barel, melonjak 31% dibandingkan 2020 yang sebesar 79,68 juta barel. Adapun pada 2019 impor minyak mentah RI sebelum masa pandemi Covid-19 mencapai 89,31 juta barel.
Begitu juga dengan impor BBM Indonesia. Pada 2021 tercatat impor produk minyak atau BBM Indonesia mencapai 22,09 juta kilo liter (kl), naik 5,8% dibandingkan impor pada 2020 yang sebesar 20,87 juta kl.
Impor BBM tersebut berupa bensin, baik dengan nilai oktan (RON) 88 atau dikenal dengan merek Premium, RON 90 atau setara Pertalite, RON 92 atau setara Pertamax, RON 95, diesel (gasoil), naphta, HOMC, hingga bahan bakar pesawat seperti avtur dan avgas.
(wia)