
Ramalan Jokowi di KTT G20 Makin Terasa, Beneran Kejadian!

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih berpegang teguh pada ramalannya yang sejak beberapa bulan lalu dia gaungkan, yakni suramnya perekonomian pada 2023.
Ini akibat peperangan yang tak kunjung usai antara Rusia dan Ukraina, di tengah masih berkecamuknya Pandemi Covid-19. Ramalan itu pun semakin nyata dengan data-data terbaru.
Kekhawatiran akan ramalannya itu turut ia sampaikan saat membuka acara puncak KTT G20 di Bali, Selasa, 15 November 2022. Dalam pidatonya di forum 20 negara dengan kapasitas perekonomian terbesar di dunia itu ia mengatakan 2023 akan menjadi tahun yang lebih suram dari sebelum-sebelumnya bila pimpinan negara tak ada aksi nyata mencari solusi.
Yang paling membuat Jokowi khawatir adalah masalah ketahanan pangan, energi, dan keuangan. Pemicunya adalah kelangkaan pupuk yang menurutnya jangan sampai disepelekan. Jika tidak ada solusi untuk masalah pupuk itu, Jokowi memastikan akan terjadi kegagalan panen di berbagai belahan dunia.
"Kita tidak segera mengambil langkah agar ketersediaan pupuk mencukupi dengan harga terjangkau, maka 2023 akan menjadi tahun yang lebih suram," kata Jokowi dalam pidato itu.
Oleh sebab itu, Jokowi meminta supaya perbedaan dikesampingkan untuk menghadapi berbagai permasalahan ini. Forum pertemuan para pimpinan negara G20 menurutnya harus menjadi tempat menjalin kerja sama mencari solusi kongkret terhadap permasalahan yang menyebabkan ekonomi kini dan ke depan suram.
"Hari ini mata dunia tertuju pada pertemuan kita. Apakah kita akan mencetak keberhasilan? Atau akan menambah satu lagi angka kegagalan? Buat saya, G20 harus berhasil dan tidak boleh gagal," ucap Jokowi.
Suramnya kondisi ekonomi pada 2023, juga telah disuarakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sepekan sebelum dibukanya KTT G20. Saat ini saja, Sri mengatakan, dunia tengah menghadapi badai yang sempurna atau perfect storm.
Perumpamaan perfect storm ini merupakan akumulasi dari permasalahan pandemi Covid-19 yang belum usai, hingga perang Rusia-Ukraina yang menciptakan gangguan pasokan yang lebih kompleks, inflasi tinggi terutama pada komoditas makanan, pupuk, dan energi.
Tingginya angka inflasi ini pun akhirnya membuat bank sentral di banyak negara, khususnya negara-negara maju harus mengambil langkah mengetatkan kebijakan moneternya, salah satunya dengan menaikkan tingkat suku bunga acuan secara agresif.
"Kompleksitas itu lah yang ada di dalamnya, semua negara termasuk Indonesia dalam hal ini, dengan situasi di mana ruang kebijakan mengetat, baik fiskal dan moneter," jelas Sri Mulyani dalam Bloomberg CEO Forum: Moving Forward Together, dikutip Senin (14/11/2022)
Tingginya tingka suku bunga acuan ini pun membawa risiko yang berat terhadap daya beli. Akibatnya, rembeten dari kondisi ini akan sampai juga pada melemahnya permintaan dalam pasar tenaga kerja hingga naiknya tingkat pengangguran.
Badai pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai industri di Tanah Air pun kian bermunculan mendekati 2023. Kondisi ini telah memicu kekhawatiran stagflasi di Indonesia. Gelombang PHK massal ini bermula dari penurunan permintaan di pasar ekspor, bahkan sampai 50 persen.
Jumlah PHK di sektor padat karya dilaporkan mencapai lebih dari 70.000 orang saat ini. Berawal dari dirumahkan, hingga karyawan kontrak tak lagi diperpanjang masa kontraknya, juga PHK karyawan tetap.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah berujar, sepanjang periode Januari- September 2022 kasus PHK sudah tercatat menimpa 10.765 orang. ANgka ini menurutnya masih jauh lebih rendah dari catatan pada 2019 yang sebabnya 18.911 orang, 2020 mencapai 386.877 orang, dan 2021 yang sebanyak 127.085 orang.
"Sepanjang Januari-September 2022, jumlah kasus PHK tercatat 10.765 orang," kata Menaker saat rapat dengan Komisi IX DPR, dikutip Kamis (10/11/2022).
Tapi, Ketua Umum Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menilai, data yang disampaikan Ida itu belum mencakup keseluruhan kelas pekerja yang telah terdampak PHK. Menurut dia, apa yang disampaikan Ida baru sebatas para pekerja tetap yang terkena PHK.
"10 ribu itu (data Kemenaker) PHK karyawan tetap. Banyak yang karyawan kontrak di-terminate kontraknya, ini tidak termasuk data PHK-nya Kemenaker (Kementerian Ketenagakerjaan)," kata Redma.
(cha/cha)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dunia Chaos Sampai Ekonomi 2023 Diprediksi Gelap, RI Siap?
