
PLTU Diganti Dengan EBT, Harga Listriknya Bakal Mahal?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah berkomitmen akan menggusur penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dan akan menggantikan peran energi fosil itu dengan energi baru dan terbarukan (EBT).
PT PLN (Persero) sebagai perusahaan setrum pelat merah juga berkomitmen penuh untuk melakukan transisi ke EBT. Apalagi Indonesia memiliki potensi EBT yang cukup besar untuk dikembangkan.
Namun perlu diketahui, saat ini harga listrik dari PLTU batu bara dinilai masih lebih murah ketimbang harga listrik dari EBT. Lalu, dengan pensiunnya PLTU batu bara dan diganti dengan EBT, harga listrik ke masyarakat bisa tetap terjangkau?
VP Operasi Pembangkitan PT PLN (Persero), Suwarno mengatakan PLN saat ini tengah berupaya untuk melakukan transisi ke EBT guna mendukung target yang dicanangkan pemerintah. Namun demikian perusahaan setrum juga akan tetap komit untuk menjaga daya beli masyarakat melalui tarif listrik yang terjangkau.
Menurut Dia PLN akan tetap mengutamakan pelayanan pelanggan dimana pelanggan PLN saat ini banyak didominasi oleh pelanggan rumah tangga. Adapun pelanggan tersebut sebagian besar juga masih disubsidi.
"Tentunya ke depan harus in line dengan harapan pelanggan yaitu harga yang terjangkau oleh pelanggan. Ke depan pengembangan EBT juga harus mempertimbangkan masalah terkait dengan prices," kata Suwarno dalam acara Dialog IPP Transisi Energi, Selasa (15/11/2022).
Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo sebelumnya menyebut rencana untuk menggenjot pengembangan pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan tidaklah mudah dan penuh tantangan.
Meski demikian, perusahaan setrum ini terus berupaya untuk mencapai beberapa target yang telah dicanangkan. Salah satunya seperti yang telah tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang disebut sebagai RUPTL green. Adapun dalam RUPTL tersebut, porsi pembangkit listrik berbasis energi terbarukan pada 2030 ditargetkan dapat mencapai 20,9 GW.
"20,9 GW tambahan kapasitas energi terbarukan hingga tahun 2030, 51,6% tambahan pembangkit listrik yang berasal dari energi terbarukan. Merupakan tantangan berat, itu adalah tantangan yang sulit," ujar Darmawan dalam diskusi SOE Commitment on Net Zero Emission di Nusa Dua, Bali, Selasa (18/10/2022).
Meskipun berat, namun perusahaan akan terus berkomitmen untuk mengejar target yang sudah tertuang dalam RUPTL tersebut. Hal ini dilakukan sebagai upaya perusahaan untuk mencapai netral karbon atau net zero emissions pada 2060 mendatang.
Pasalnya, tanpa upaya tersebut perusahaan berpotensi menghasilkan emisi karbon dioksida hampir 1 miliar ton per tahun pada 2060. Oleh sebab itu, pengurangan emisi gas rumah kaca di sektor ketenagalistrikan sudah menjadi keharusan.
"Jika kita tidak melakukan apa-apa, 1 miliar metrik ton emisi CO2 pada tahun 2060. Mengapa kita melakukan ini? Kita perlu merebut kembali hak-hak manusia untuk bertahan hidup. Dan kami melakukan ini karena hati nurani yang mencerminkan semangat juang yang harus dimiliki manusia untuk bertahan hidup," kata dia.
Ia pun memperkirakan kebutuhan investasi untuk pembangunan pembangkit listrik dari energi baru dan terbarukan (EBT) mencapai US$ 600 miliar atau Rp 9.294 triliun (asumsi kurs Rp 15.490 per US$) sampai 2060. Dana tersebut dihitung berdasarkan kebutuhan listrik nasional pada 2060 yang bakal melonjak menjadi 1.800 Tera Watt hour (TWh).
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jreeng..PLN & Jepang Mulai Bahas 'Suntik Mati' PLTU Batu Bara