
G20, Negara Penguasa Ekonomi Dunia! Tapi Lagi Banyak Masalah

Krisis yang melanda di Asia, Rusia dan Amerika Latin pada 1998 menjadi cikal bakal dibentuknya G20. Diinisiasi oleh G7 yang terdiri dari Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Inggris, Kanada, Prancis dan Italia, G20 akhirnya dibentuk pada 1999 untuk mengatasi krisis tersebut.
Pada awalnya, G20 merupakan pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral. Tetapi sejak 2008 para kepala negara juga ikut hadir dalam KTT. Kemudian pada 2010 G20 juga membahas sektor pembangunan. Sejak saat itu G20 terdiri dari Jalur Keuangan (Finance Track) dan jalur non-keuangan atau Sherpa Track.
Salah satu agenda prioritas di Finance Track yakni exit strategy to support recovery. Agenda ini membahas bagaimana melindungi negara-negara yang masih menuju pemulihan ekonomi dari efek exit policy yang diterapkan negara yang sudah lebih dulu pulih dari pandemi Covid-19.
Exit policy melalui normalisasi kebijakan moneter yang sangat agresif dilakukan The Fed guna meredam tingginya inflasi. Hal ini berdampak buruk khususnya ke negara-negara berkembang. Capital outflow yang masif terjadi di pasar obligasi, nilai tukar mata uang juga merosot tajam.
Indonesia juga merasakan hal yang sama. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) sepanjang tahun ini hingga 4 November, tercatat capital outflow dari pasar Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 177 triliun.
Kemudian nilai tukar rupiah sepanjang tahun ini merosot sekitar 8%, bahkan sebelumnya sempat menembus ke atas Rp 15.700/US$.
Yang menarik, negara-negara yang menerapkan exit policy semacam Amerika Serikat, Inggris, hingga Eropa kini terancam mengalami resesi lagi seperti yang disebutkan di halaman sebelumnya.
Resesi yang berisiko dialami oleh Amerika Serikat dkk bisa menjadi 'berkah' bagi negara-negara yang selama ini merasakan dampak buruk dari exit policy.
Sebab, bank sentralnya bisa jadi akan mengendurkan laju kenaikan suku bunganya. BoE misalnya, mengindikasikan suku bunga ke depannya tidak akan setinggi yang diperkirakan pasar. Bank sentral Kanada (BoC) juga sudah mengendurkan laju kenaikan suku bunganya, The Fed diperkirakan akan menyusul.
Meski resesi merupakan sesuatu yang buruk, tetapi hal itu menjadi jalan paling cepat untuk meredam inflasi yang sangat tinggi. Demand pull inflation, menjadi bisa diredam. Resesi juga lebih mudah disembuhkan ketimbang inflasi tinggi yang "mendarah daging", sehingga bank sentral sangat agresif dalam menaikkan suku bunganya.
[Gambas:Video CNBC]