CNBC Indonesia Research

G20, Negara Penguasa Ekonomi Dunia! Tapi Lagi Banyak Masalah

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
14 November 2022 07:35
Presiden Amerika Serikat Joe Biden tiba di Bali pada Minggu, (13/11/2022) malam sekitar pukul 21.30 WITA.
Foto: Presiden Amerika Serikat Joe Biden tiba di Bali pada Minggu, (13/11/2022) malam sekitar pukul 21.30 WITA. (Dok. Laman indonesia.go.id)

Jakarta, CNBC Indonesia - Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 akan dimulai pada Selasa (15/11/2022) di Bali. Indonesia yang memegang Presidensi G20 mengusung tema Recover Together, Recover Stronger.

Tema tersebut sangat tepat diangkat mengingat dunia baru saja mengalami kemerosotan ekonomi yang sangat tajam pada 2020 lalu akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19).

Dengan tema tersebut, Indonesia ingin mengajak seluruh dunia untuk bahu-membahu, saling mendukung untuk pulih bersama, serta tumbuh lebih kuat dan berkelanjutan, sebagaimana disebutkan di laman Bank Indonesia.

Iya, seluruh dunia. Meski hanya dihadiri segelintir negara, tetapi dampaknya bisa ke seluruh dunia.

Melansir Worldometer, di dunia ini terdapat 195 negara, yang termasuk anggota G20 yakni Amerika Serikat (AS), Afrika Selatan, Argentina, Arab Saudi, Australia, India, Brasil, Inggris, Indonesia, Italia, Jepang, Jerman, Meksiko, Kanada, Republik Korea, Perancis, Rusia, Tiongkok, Uni Eropa, dan Turki.

Meski hanya sekitar 23% dari total negara, tetapi negara-negara ini menguasai ekonomi dunia. Nilai ekonominya merepresentasikan 80% dari total produk domestik bruto (PDB) dunia, 75% perdagangan global, dan 60% populasi bumi.

Artinya, ketika negara G20 atau sebagian darinya mengalami masalah ekonomi, maka efeknya akan terasa ke seluruh dunia.

Jika negara-negara G20 dipecah lagi, maka ada 5 negara yang mendominasi PDB dunia, Amerika Serikat, China, Jepang, Jerman, dan Inggris. Pada 2021, kelima negara tersebut merepresentasikan lebih dari 55% PDB dunia, melansir Investopedia yang merangkung 25 negara dengan nilai ekonomi terbesar di dunia.

Indonesia sendiri berada di urutan ke 16.

Melihat kontribusinya terhadap PDB dunia lebih dari setengah, maka wajar jika kelima negara tersebut terancam mengalami pelambatan ekonomi hingga resesi, negara-negara lain akan ketar-ketir, termasuk Indonesia.

Seperti diketahui, Amerika Serikat, Inggris dan Jerman, terancam mengalami resesi di tahun depan, China dan Jepang saat ini masih menghadapi risiko pelambatan ekonomi.

Bank sentral AS (The Fed) sudah mensinyalkan perekonomian AS akan mengalami kemerosotan, bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) bahkan sudah menyatakan akan mengalami resesi terpanjang dalam sejarah. Penyebabnya, suku bunga yang dinaikkan dengan agresif guna meredam inflasi.

"Apakah peluang soft landing (pelambatan ekonomi tanpa terjadi resesi) semakin kecil? iya. Apakah itu masih mungkin terjadi? tentu saja," kata Powell saat menaikkan suku bunga pada Kamis (3/11/2022).

Menurut Powell untuk bisa menghindarkan perekonomian AS dari resesi di 2023 adalah pekerjaan yang sangat berat, sebab suku bunga masih perlu dinaikkan tinggi guna meredam inflasi.

Di hari yang sama dengan The Fed, BoE juga menaikkan suku bunga, dan menyatakan perekonomian Inggris akan mengalami kontraksi hingga semester I-2024

"Pertumbuhan ekonomi diproyeksikan akan terus merosot selama 2023 dan berlanjut hingga semester I-2024 akibat tingginya harga energi dan pengetatan kondisi finansial akan membebani belanja rumah tangga," kata BoE.

Perang antara Rusia dengan Ukraina, yang merupakan anggota G20 memperburuk kondisi inflasi yang melanda dunia. Harga komoditas energi menjadi naik tajam, hingga memicu krisisi energi di Eropa.

Berawal dari krisis energi ini, inflasi merembet ke berbagai lini, yang akhirnya membawa ke jurang resesi.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> G20 Dibentuk Untuk Atasi Krisis

Krisis yang melanda di Asia, Rusia dan Amerika Latin pada 1998 menjadi cikal bakal dibentuknya G20. Diinisiasi oleh G7 yang terdiri dari Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Inggris, Kanada, Prancis dan Italia, G20 akhirnya dibentuk pada 1999 untuk mengatasi krisis tersebut.

Pada awalnya, G20 merupakan pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral. Tetapi sejak 2008 para kepala negara juga ikut hadir dalam KTT. Kemudian pada 2010 G20 juga membahas sektor pembangunan. Sejak saat itu G20 terdiri dari Jalur Keuangan (Finance Track) dan jalur non-keuangan atau Sherpa Track.

Salah satu agenda prioritas di Finance Track yakni exit strategy to support recovery. Agenda ini membahas bagaimana melindungi negara-negara yang masih menuju pemulihan ekonomi dari efek exit policy yang diterapkan negara yang sudah lebih dulu pulih dari pandemi Covid-19.

Exit policy melalui normalisasi kebijakan moneter yang sangat agresif dilakukan The Fed guna meredam tingginya inflasi. Hal ini berdampak buruk khususnya ke negara-negara berkembang. Capital outflow yang masif terjadi di pasar obligasi, nilai tukar mata uang juga merosot tajam.

Indonesia juga merasakan hal yang sama. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) sepanjang tahun ini hingga 4 November, tercatat capital outflow dari pasar Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 177 triliun.

Kemudian nilai tukar rupiah sepanjang tahun ini merosot sekitar 8%, bahkan sebelumnya sempat menembus ke atas Rp 15.700/US$.

Yang menarik, negara-negara yang menerapkan exit policy semacam Amerika Serikat, Inggris, hingga Eropa kini terancam mengalami resesi lagi seperti yang disebutkan di halaman sebelumnya.

Resesi yang berisiko dialami oleh Amerika Serikat dkk bisa menjadi 'berkah' bagi negara-negara yang selama ini merasakan dampak buruk dari exit policy.

Sebab, bank sentralnya bisa jadi akan mengendurkan laju kenaikan suku bunganya. BoE misalnya, mengindikasikan suku bunga ke depannya tidak akan setinggi yang diperkirakan pasar. Bank sentral Kanada (BoC) juga sudah mengendurkan laju kenaikan suku bunganya, The Fed diperkirakan akan menyusul.

Meski resesi merupakan sesuatu yang buruk, tetapi hal itu menjadi jalan paling cepat untuk meredam inflasi yang sangat tinggi. Demand pull inflation, menjadi bisa diredam. Resesi juga lebih mudah disembuhkan ketimbang inflasi tinggi yang "mendarah daging", sehingga bank sentral sangat agresif dalam menaikkan suku bunganya.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular