
Tak Cuma Rp326 T, Jokowi Bakal Ketiban 'Durian Runtuh' Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah sudah mendapatkan keuntungan yang besar atau 'durian runtuh' dari sektor nikel. Hal ini atas upaya pemerintah memberlakukan pemberhentian ekspor bijih nikel dan melaksanakan kegiatan ekspor nikel dengan nilai tambah melalui proses hilirisasi di dalam negeri.
Tak cukup di nikel saja, ke depan pemerintah juga akan memberlakukan hal yang serupa kepada hasil tambang mineral lainnya seperti timah, tembaga dan juga bauksit. Bahkan yang sudah tertera akan dilakukan penyetopan ekspor dan wajib hilirisasi adalah sektor tambang bauksit.
Mengacu catatan, Kementerian Investasi atau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) RI, pada tahun 2021 Indonesia mendapatkan keuntungan yang diperoleh Indonesia dari hilirisasi nikel itu menembus US$ 20,9 miliar atau Rp 326 triliun (kurs rupiah Rp 15.600/US$).
Menteri Investasi atau Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia menyebutkan bahwa, di tahun 2017 - 2018, nilai ekspor nikel hanya mencapai US 3,3 miliar. Hal itu karena Indonesia hanya melakukan ekspor bijih nikel tanpa dilakukan hilirisasi.
"Sekarang dengan kita menyetop ekspor nikel, nilai tambahn sampai dengan 2021 sudah mencapai US$ 20,9 miliar. Di tahun 2017-2018 itu hanya US$ 3,3 miliar," ungkap dia.
Seperti yang diketahui, Indonesia merupakan produsen terbesar pertama di dunia dalam produksi maupun cadangan nikel. Mengacu catatan Kementerian ESDM, produksi nikel RI pada tahun 2017 sebesar 345.000 metrik ton (MT), kemudian melonjak mencapai 1 juta MT pada tahun 2021. Adapun Indonesia juga memiliki cadangan sebesar 21 juta MT.
Untuk mengulang kesuksesan dari hilirisasi nikel itu, pemerintah juga bertekad akan melakukan hilirisasi di sektor timah dan bauksit serta tembaga. Menteri Bahlil menyebutkan, hilirisasi terhadap nilai timah akan memberikan nilai positif bagi pembangunan nasional. Apalagi, Indonesia merupakan penghasil timah terbesar nomor ke-2 dunia setelah China.
"Sekarang hilirisasi timah baru 5%. Sudah begitu harganya dikendalikan oleh negara yang bukan penghasil timah. Kita menyetop ekspor timah untuk memberikan nilai tambah," ungkap Bahlil.
Namun Bahlil belum bisa menyebutkan kapan ekspor timah akan dilarang. Namun yang jelas, hilirisasi timah berbeda dengan nikel di mana, investasi dalam hilirisasi paling besar dalam hilirisasi timah membutuhkan Rp 1 triliunan. "Kita sudah buat roadmapnya. Lebih cepat lebih baik," tandas Bahlil.
Nah, untuk sektor bauksit sendiri larangan ekspor akan berlaku pada Juni 2023 terhitung tiga tahun setelah Undang-undang Nomor 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) diterbitkan.
Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara Irwandy Arif mengatakan, potensi penambahan pendapatan negara bisa melesat hingga delapan kali lipat dari hilirisasi bauksit menjadi alumina.
Dalam catatannya, Irwandy menyebutkan, pada 2021 harga bijih bauksit sekitar US$ 24 - US$ 30 per ton atau sekitar Rp 469.323 per ton. Hal itu menyumbang pendapatan negara sebesar US$ 628 juta atau setara dengan Rp 9,8 triliun (asumsi kurs Rp 15.646 per US$) dengan penjualan sebanyak 23 juta ton bijih bauksit.
Sementara bila dijual berupa alumina, penerimaan negara diperkirakan bisa melejit delapan kali lipat karena dengan asumsi harga alumina kini sekitar US$ 200 - US$ 300 per ton.
Dengan asumsi penjualan pada volume yang sama saja, artinya penerimaan negara bisa melejit menjadi US$ 5 miliar atau sekitar Rp 79 triliun bila menjual dalam bentuk alumina.
"Dengan harga bijih bauksit itu kira-kira US$ 24 - US$ 30 per ton itu kemarin tahun 2021. Kita menjual sekitar 23 juta ton itu sekitar US$ 628 juta. Itu sedemikian rupa, begitu angka ini akan melesat apabila kita berhasil menjadi alumina dari bijih bauksit dalam proses smelter bauksit grade alumina," paparnya dalam program Mining Zone CNBC Indonesia, dikutip Kamis (03/11/2022).
"Ini harga jualnya dapat menjadi sekitar US$ 200 - US$ 300 per ton. Anda bisa bayangkan delapan kali kurang lebih ya," ucapnya.
Menurutnya, angka ini bisa kembali melambung bila Indonesia bisa memprosesnya lagi menjadi aluminium. Apalagi, lanjutnya, harga aluminium kini sudah mencapai sekitar US$ 2.000 per ton.
"Kemudian, terlebih lagi alumina diolah menjadi aluminium harga jualnya melesat hingga US$ 200 per ton. Jadi kita bisa bayangkan bagaimana pengaruhnya terhadap penerimaan negara," pungkasnya.
Dia menyebut, produksi bijih bauksit RI pada 2021 menyentuh angka 25,8 juta ton. Namun, dari total produksi tersebut, sebanyak 23,2 juta ton bijih bauksit diekspor ke luar negeri. Sedangkan untuk diserap smelter dalam negeri hanya sebesar 2,6 juta ton.
Padahal, saat ini ada empat smelter bauksit yang beroperasi dengan kapasitas penyerapan 10,5 juta ton bauksit.
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Luhut Taksir RI Bakal Ketiban Durian Runtuh Rp1.140-an T di 2028