
Ingin Bangun Tenaga Nuklir, RI Butuh Rp 197 Triliun

Jakarta, CNBC Indonesia - Rencana pemerintah Indonesia untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) ternyata tak main-main. Buktinya, PLTN ini sudah menjadi salah satu opsi sumber energi masa depan tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014.
Melalui beleid itu, teknologi nuklir atau PLTN sudah memasuki fase satu dalam pengembangan dan kesiapan infrastruktur. Sejalan dengan itu, fase satu telah dilewati sehingga proyek nuklir ini menuju penetapan pelaksanaan proyek.
Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) periode 2012-2018, Djarot Sulistio Wisnubroto menjelaskan mengenai pembiayaan pengadaan PLTN mencapai US$ 12,65 atau setara Rp 197,3 triliun (kurs rupiah 15.598). Biaya tersebut terhitung untuk 2.400 MW listrik yang akan dihasilkan.
"Saat ini Bangladesh sedang membangun PLTN bekerja sama dengan Rusia. Daya totalnya adalah 2400 Mega Watt (MW) dengan pembiayaan US$ 12,65 billion. Nah itu kira-kira yang sedang dibangun oleh Bangladesh," ungkapnya kepada CNBC Indonesia dalam Energy Corner CNBC Indonesia, Senin (31/10/2022).
Selain itu, perhitungan pembiayaan untuk PLTN berkisar US$ 6-9 miliar per 1,1 Giga Watt (GW) atau sekitar Rp 93,6 triliun sampai dengan Rp 140 triliun. Namun perhitungan ini akan berbeda, Djarot menyebutkan untuk Small Modular Reactor (SMR) dengan kapasitas 50-300 MW akan memiliki pembiayaan yang berbeda pula.
"Tentu saja itu nanti akan berbeda-beda, apalagi kalau kita mau membangun Small Modular Reactor yang lebih kecil ukurannya, bisa 50 bisa 100 atau 300 MW, tentu saja pembiayaannya akan berbeda," paparnya.
Djarot mengakui bahwa masalah pembiayaan ini menjadi tantangan terbesar dalam pengadaan PLTN dalam negeri. Pasalnya, pembiayaan ini termasuk pada investasi yang besar pula. Selain itu, permasalahan selanjutnya adalah mengenai waktu yang tidak sebentar dalam membangun PLTN ini membutuhkan setidaknya 10 tahun.
Mengenai rencana pemerintah yang akan menjalankan PLTN pada tahun 2040 dengan kapasitas 5GW. Djarot menilai setidaknya pada saat itu Indonesia harus memiliki empat PLTN besar pada tahun tersebut. "Kalau PLTN-nya kecil-kecil, seperti Small Modular Reactor, itu bisa jadi banyak dan tentu saja itulah yang harus disiapkan oleh Indonesia," pungkasnya.
Djarot menjelaskan, ada banyak contoh skema pembiayaan yang bisa dilihat pada negara yang tengah membangun PLTN seperti Turki, Arab, dan Bangladesh. Pada intinya, pemerintah Indonesia perlu melakukan pendekatan sehingga tercipta Government to Government yang menghasilkan pinjaman lunak.
"Sebaiknya pemerintah Indonesia lebih aktif memberikan suatu pendekatan ke negara lain sehingga ada Government to Government sehingga kita dapatkan misalnya pinjaman lunak," tuturnya.
Di lain sisi, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Herman Darnel Ibrahim menyebutkan skema pembiayaan yang telah disebutkan ada risiko penundaan atau delay. Hal tersebut dinilai dapat membuat pembiayaan membengkak dari target yang telah ditentukan.
"Ada beberapa statistik tentang PLTN ini umumnya terjadi delay. Jadi misalnya direncanakan pembangunan 5 sampai 6 tahun, tetapi realisasi saya lihat dari world nuclear association itu pembangunannya 11 sampai 12 tahun," ungkapnya.
Sehingga, Herman menilai dengan tertundanya proyek PLTN ini membuat pembiayaan membengkak. Bila mengambil contoh yang terjadi pada Georgia pembangunan tertunda cukup lama sehingga membuat biaya untuk 2 PLTN mencapai US$ 30 miliar atau setara Rp 140 triliun.
Selain itu, bila melihat pada proyek pembangkit listrik konvensional yang terjadi di Indonesia bahkan hampir tidak ada yang berjalan tepat waktu. Oleh karena itu, Herman mengingatkan akan antisipasi dan investasi untuk transisi menuju energi baru terbarukan.
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Diam-diam Ternyata AS Ingin Bangun 'Nuklir' di RI