Gawat! Ini yang Terjadi Kalau Sampai Tak Ada Dolar di RI

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
26 October 2022 08:47
Petugas menghitung uang di tempat penukaran uang Luxury Valuta Perkasa, Blok M, Jakarta, Kamis, 21/7. Rupiah tertekan pada perdagangan Kamis (21/7/2022) (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Petugas menghitung uang di tempat penukaran uang Luxury Valuta Perkasa, Blok M, Jakarta, Kamis, 21/7. Rupiah tertekan pada perdagangan Kamis (21/7/2022) (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Likuiditas valuta asing atau valas di dalam negeri terancam mengering seiring dengan tingginya permintaan akan dolar yang tidak dibarengi dengan pasokan mencukupi.

Bank Indonesia (BI) mencatat, pada September 2022, pertumbuhan kredit tumbuh double digit atau sebesar 18,1%, sementara pertumbuhan penghimpunan DPK valas hanya mencapai 8,4%. Kondisi ketat ini semakin diperparah dengan arus modal keluar yang dibukukan investor asing.

Bank sentral pun memperkirakan dana asing yang keluar dari Indonesia atau net outflow pada Kuartal III-2022 diperkirakan akan mencapai US$ 2,1 miliar atau setara Rp 32,55 triliun (kurs Rp 15.500/US$).

Sejumlah ekonom mengungkapkan, antisipasi otoritas sangat dibutuhkan untuk mempertebal likuiditas valas di dalam negeri. Karena kalau tidak, akan berdampak signifikan untuk ekonomi Indonesia ke depan.

Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah mengungkapkan, dampak jika valas mengering akan berimbas kepada laju nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Nilai tukar rupiah dolar AS yang terus mengungat, akan mengakibatkan kurs rupiah bisa terperosok.

"Dampak utamanya pertama nilai tukar dolar terhadap rupiah akan terus menguat," jelas Piter kepada CNBC Indonesia, Senin (24/10/2022).

Pemenuhan pasokan barang baku dan barang modal yang dibutuhkan oleh pengusaha juga akan semakin mahal.

"Akan mengganggu kegiatan impor...Barang2 impor akan terdorong naik," jelas Piter. Jika kemudian produsen meningkatkan harga tersebut kepada harga konsumen, maka inflasi tak terelakan juga ikut terkerek.

"Ketatnya likuiditas valas tidak boleh dibiarkan berlarut-larut karena akan mengganggu impor dan perekonomian secara keseluruhan," kata Piter lagi.

Jika dibiarkan, maka Indonesia akan mengalami efek imported inflation atau inflasi akibat harga impor barang yang naik. Hal ini tentunya menganggu target pemerintah mengembalikan inflasi ke kisaran 5% tahun ini.

Bukan tidak mungkin, ketika inflasi tinggi, daya beli masyarakat akan tergerus. Konsumsi yang menjadi tulang punggung ekonomi akan terpukul.

Kepala Ekonom BCA David Sumual berharap otoritas bisa mencegah paling tidak jangan sampai ada dana asing yang keluar dari Indonesia.

Bahkan apabila memungkinkan agar DHE para eksportir harus masuk dan parkir di dalam negeri. "DHE harus masuk, dan harus diperketat lagi aturannya," jelas David.

Selain itu, otoritas juga diminta untuk mengencerkan investasi penanaman modal asing ke dalam negeri. David menilai, beberapa aturan yang ada saat ini membuat investor enggan untuk berinvestasi di dalam negeri.

Adapun untuk BI, David mendorong agar dalam transaksi investasi dan perdagangan antar negara bisa menggunakan mata uang lokal atau biasa disebut Local Currency Settlement).

Kendati demikian, David meyakini bahwa situasi keringnya likuiditas dolar AS di dalam negeri saat ini hanya akan terjadi sesaat. Tahun depan akan kembali normal.

"Tahun depan akan kembali normal. Jadi pasti akan kembali (dana asing ke dalam negeri). Tinggal tunggu saja kapan ini bisa kembali normal," tegas David.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Waspada Kemarau Likuiditas Valas, Ekonomi RI Bisa Tertekan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular