Internasional

WNI di Inggris Sulit Sewa-Kurangi Makan Resto, Imbas Krisis?

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
Jumat, 21/10/2022 20:45 WIB
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis ekonomi yang terjadi di Inggris kian parah. Kehidupan warga terus terpengaruh akibat biaya hidup yang meroket, tak terkecuali para diaspora Indonesia yang hidup di sana.

Fransiscus (35), salah satu mahasiswa penerima beasiswa yang sedang menempuh pendidikan S3 di Universitas Glasgow, menyuarakan keprihatinan yang menimpa diaspora Indonesia di Inggris saat ini.


Fransiscus, yang ikut memboyong istri dan kedua anaknya, mengaku kesulitan untuk mencari tempat tinggal sesaat setelah tiba di Inggris. Ia mengatakan inilah yang menjadi masalah utama yang dihadapi pelajar dari Indonesia saat ini.

Foto: Pandangan umum pelayat di sepanjang The Mall menjelang Pemakaman Negara Ratu Elizabeth II pada 19 September 2022 di London, Inggris. (Getty Images/Dan Kitwood)
Pandangan umum pelayat di sepanjang The Mall menjelang Pemakaman Negara Ratu Elizabeth II pada 19 September 2022 di London, Inggris. (Getty Images/Dan Kitwood)

"Untuk saat ini situasi masih aman, hanya memang beberapa minggu lalu pada saat kita datang agak kesulitan untuk mencari rumah untuk disewakan," katanya saat dihubungi CNBC Indonesia, Kamis (21/10/2022).

Saat mencari tempat tinggal, ia mengatakan para mahasiswa dari Indonesia selalu diminta untuk menggunakan guarantor atau penjamin dalam kepailitan. Harga jasa guarantor di Inggris sendiri dikatakan Fransiscus cukup mahal.

"Kita sebagai student yang ingin sewa selalu dimintakan guarantor, di mana walaupun kita bisa bayar dimuka selama beberapa bulan namun mereka menolak, apalagi kalau kita statusnya bawa keluarga," jelasnya.

Namun Fransiscus juga menjelaskan ada cara lain untuk mendapat sewa selain menggunakan jasa guarantor, yakni dengan memberikan bank statement rekening bank di Inggris selama 3 hingga 6 bulan. Sayangnya, kata Fransiscus, untuk mendapatkan hal ini juga cukup sulit.

"Untuk bisa dapat sewa, pilihannya kasih bank statement 3 atau 6 bulan atau punya guarantor. Tapi untuk punya rekening bank Inggris juga sulit, di mana kita bisa baru dapat rekening 3 bulan hingga 3 tahun setelah coba apply. Ini yang sulit," akunya.

"Ini krisisnya bukan dari Inggris, tetapi warga Indonesia yang disepelekan. Mereka khawatir WNI gak bisa menghasilkan income di sana, makanya seperti dipersulit," katanya.

Fransiscus merasakan adanya perbedaan perlakuan dari Inggris terhadap pelajar dari Indonesia dan Afrika dengan pelajar dari China, India, dan Malaysia. Ia mengaku pelajar dari India lebih mudah mendapatkan sewa tempat tinggal tanpa perlu guarantor.

"Saya kaget lihat orang India lebih mudah dapat sewa tanpa guarantor, sementara keadaannya berbeda dengan pelajar dari Indonesia dan Afrika. Kita cari datang sendiri, semuanya sendiri. Cuaca juga ekstrim, bertahan hidup agak susah," katanya.

"Banyak diaspora Indonesia yang merasa kesulitan, dan terhambat karena harga sewa tempat tinggal dekat kampus harganya mahal. Kami dapat budget beasiswa di bawah seribu pound, sementara harga sewa di sini dua ribu pound."

"Saya merasa sebagai diaspora, kurangnya bantuan secara diplomatik untuk menjamin kami semua yang kuliah dan tinggal untuk kemajuan bangsa. Mohon bantuan diplomatik dari RI ke Inggris untuk tidak pakai guarantor yang mahal," tambahnya.

Bertahan di Musim Dingin

Dengan krisis yang menggerogoti Inggris dan naiknya harga energi, musim dingin kali ini menjadi waktu yang paling menyulitkan untuk bertahan hidup. Fransiscus mengaku saat musim dingin, kebanyakan para pelajar berada di kampus yang buka 24 jam.

"Kebanyakan main di kampus untuk menghangatkan diri," katanya. "Tapi kita beradaptasi karena di negara orang. Tapi memang ekstrim sih, apalagi kalau mau masuk winter yang sebenarnya."

Hal yang sama juga disampaikan oleh Rafkha Gibrani, pelajar yang menempuh pendidikan di Universitas Sussex. Kepada CNBC Indonesia, ia mengatakan telah melakukan beberapa cara agar dapa bertahan di musim dingin saat ini.

"Aku tinggal satu rumah sama teman-teman diaspora Indonesia lannya. Kami menghemat energi dengan cara nggak menyalakan heater dan nggak menggunakan mesin pengering baju untuk sementara," ujarnya.

"Selain itu, kami juga membatasi sirkulasi udara dari luar, menutup jendela, pintu balkon, mengenakan baju lengan panjang dan celana panjang dan kaos kaki tebal selama di dalam rumah," tambahnya.

Selain menghemat energi dengan beberapa cara tersebut, Rafkha mengatakan ia juga membuat masakan rumah agar dapat mengurangi makan di restoran. Meski begitu, Rafkha mengaku perubahaan yang ada tidak terlalu signifikan.

"Kalau sehari-hari sebenarnya masih seperti biasa, belum ada perubahan yang sangat signifikan terkait kehidupan sehari-hari, orang-orang masih pergi kerja dan sekolah seperti biasa," katanya.

"Tapi memang ada perubahan di beberapa hal, seperti tiket bus harian di Bristol yang biasa ada di harga 3.15 poundsterling sekarang jadi 3.50 poundsterling," jelasnya.

"Harga pangan dan sandang juga ikut naik tapi tidak sangat signifikan. Paling produk sehari-hari sih kayak telur, susu, daging, crisps yang rata-rata harga naik 5,1%," tambahnya.

Meski begitu, Rafkha juga mengaku tak begitu kesulitan selama menempuh pendidikan di Inggris. "Kalo saya Alhamdulillah nggak ada kesulitan sih."


(sef/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Inggris Akan Mengakui Palestina Jika Israel Tak Memenuhi Syarat