Internasional

Eropa Merana: Inggris Krisis, Prancis 'Kiamat', Jerman Resesi

Tommy Patrio Sorongan & Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
20 October 2022 15:30
Ilustrasi bendera Inggris dan Jerman. (via Getty Image/picture alliance)
Foto: Orang-orang berkumpul di depan Istana Buckingham, setelah pengumuman meninggalnya Ratu Elizabeth II, di London, Inggris, Kamis (8/9/2022). Ratu Elizabeth II yang merupakan pemimpin terlama yang memerintah Inggris dan tokoh negara selama tujuh dekade meninggal dalam usia 96 tahun. (Photo by DANIEL LEAL/AFP via Getty Images)

Jakarta, CNBC Indonesia - Benua Eropa memang tidak baik-baik saja. Sejumlah negara dibuat pusing karena sejumlah masalah.

Mulai dari energi, inflasi, politik hingga potensi resesi. Berikut rangkuman CNBC Indonesia, Kamis (20/10/2022).

Krisis Biaya Hidup Inggris hingga Gonjang-Ganjing Politik

Krisis ekonomi di kerajaan Inggris makin nyata dan mendalam. Ini bukan hanya soal energi semata, tapi juga terkait juga masalah inflasi dan kemiskinan yang merajalela.

Kisruh di pasar obligasi pun sempat terjadi. Yang diyakini memunculkan petaka finansial.

Mayoritas ekonom sepakat bila persoalan Inggris dipicu oleh tindakan mantan Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson ketika berkuasa, menarik keluar Inggris dari keanggotaan Uni Eropa (UE) pada 1 Januari 2020. Sejak itu, Inggris mular dilanda kelangkaan barang.

Pasca Brexit terjadi keriwehan yang luar biasa pada praktik perdagangan luar negeri kerjaaan. Inflasi diperparah oleh lonjakan harga energi akibat pasokan tersendat pasca perang Ukraina-Rusia

Kenaikan harga energi makin memperparah krisis. Ini membuat banyak warga terlilit.

Kenaikan ini sendiri didorong oleh naiknya harga bahan bakar setelah serangan Rusia ke Ukraina. Inggris dan beberapa sekutunya melemparkan embargo atas beberapa bahan bakar asal Rusia.

Kenaikan harga energi mendorong barang lain naik. Ini juga termasuk makanan.

Di September 2022, inflasi Inggris berada di level 10,1% secara year-on-year (yoy). Ini merupakan yang tertinggi selama 40 tahun.

Mahalnya energi dan inflasi tinggi kemudian telah membuat warga mulai kesulitan dalam mendapatkan pangan. Sebuah laporan terbaru di satu sekolah di Lewisham, London Tenggara, memberitahu badan amal Chefs in Schools tentang seorang anak yang 'berpura-pura membawa kotak makan yang kosong'.

Selain itu, kenaikan biaya hidup ini menjadi faktor pendorong lebih banyak perempuan menjadi PSK. Di awal musim panas negara itu saja, dimulai Juni dan berakhir September, ada tambahan 1/3 perempuan menjadi PSK.

Data English Collective of Prostitution, yang dikutip akhir bulan lalu, mengatakan banyak warga yang menjadi PSK ini merupakan orang tua tunggal. Di Inggris prostitusi indoor diizinkan pemerintah.

Sementara itu, mengutip Survey Resolution Foundation, dalam kurun waktu itu sampai dengan pandemi 2020, rata-rata pendapatan kelas pekerja hanya naik 0,7% pertahun. Ini jauh dari rekaman dekade sebelumnya sebesar 2,3% (antara 1961-2005).

Gonjang Ganjing Politik

Masalah ekonomi merambat pula ke ketidakpercayaan pada Perdana Menteri (PM) baru Liz Truss. Wanita yang terpilih 6 September itu, kini sedan diserang most tidak percaya, bahkan oleh partainya sendiri di parlemen.

Sejumlah anggota Partai Konservatif (Tory) bahkan memintanya mundur. Ia dianggap tidak becus mengatasi krisis ekonomi saat ini.

"Negara kita, rakyatnya, partai kita pantas mendapat lebih baik," ujar salah satu politisi Andrew Bridgen.

Truss membuat heboh saat mewacanakan kebijakan pemotongan pajak (tax cut). Salah satu poinnya adalah penghapusan pajak senilai US$ 48 miliar, tanpa pengurangan belanja negara, termasuk 45% pajak penghasilan ke penerima tertinggi.

Truss juga berencana mengangkat batas bonus bankir. Downing Street juga membalikkan rencana kenaikan pajak perusahaan serta kenaikan baru-baru ini dalam kontribusi asuransi nasional.

Hal itu dipandang sebagai 'racun politik'. Apalagi warga Inggris kini menghadapi krisis biaya hidup.

Jajak pendapat YouGov untuk surat kabar The Times mengatakan 43% pemilih Partai Konservatif menginginkan Truss mundur di Downing Street. Mengutip Guardian, sebanyak 100 surat tidak percaya dilaporkan telah diajukan oleh anggota parlemen Partai Komservatif.

Halaman 2>>

Prancis kini mengalami ancaman kelangkaan bahan bakar di seluruh negeri. Hal itu akibat pemogokan pekerja kilang minyak.

Aksi sudah dilakukan sejak pekan lalu, diawaki pekerja TotalEnergies. Mereka menuntut kenaikan gaji di tengah tingginya inflasi.

Akibatnya, sekitar 30% SPBU di Prancis kini kesulitan melayani BBM warga. Antrean mengular di mana-mana.

Presiden Emmanuel Macron mengatakan krisis bahan bakar sudah terjadi. Ia menginginkan solusi secepat mungkin.

"Saya mendukung sesama warga kami yang berjuang dan yang muak dengan situasi ini," tegasnya awal pekan.

Hal sama juga diakui WNI di Prancis. Rina, WNI yang tinggal di Kota Toulouse, Prancis, mengaku kelangkaan BBM sudah terjadi sejak 2 minggu lalu.

Menurutnya, SPBU Total masih menutup layanannya di sana. Padahal, perusahaan tersebut menjadi salah satu yang terbanyak di Prancis.

Alhasil, antrean panjang terjadi di SPBU lainnya. Bahkan, pembelian BBM terpaksa dijatah per kendaraan.

"Orang-orang di Prancis bingung karena jaringan Total banyak di sini. Setelah tutup, semuanya antre di SPBU lain, itu juga dijatah maksimal 30 liter per mobil. Minggu lalu jatahnya cuma 5 liter," katanya kepada CNBC Indonesia.

Merembet ke Listrik

Mogok massal pekerja klang minska dilaporkan juga merembet ke mana-mana. Selasa, ribuan pekerja dari sektor lain. menuntut upah yang lebih tinggi sebagai tanggapan atas melonjaknya inflasi.

Dari catatan Kementerian Dalam Negeri Prancis, setidaknya ada 107.000 orang ambit bagian dalam demonstrasi. Termasuk 13.000 di Paris.

Peserta mogok juga diketahui berasal dari pekerja di sektor pembangkit listrik tenaga nuklir. Ini diyakini akan menghambat upaya menghidupkan reaktor yang saat ini tengah dalam pemeliharaan.

Apalagi jika mogok berlarut seperti pekerja kilang minyak. "Setiap perluasan gerakan sosial di pembangkit listrik tenaga nuklir akan memiliki konsekuensi serius pada penyediaan listrik musim dingin ini," tegas operator jaringan listrik RTE memperingatkan, dikutip AFP.

Prancis bergantung pada energi nuklir untuk listriknya sekitar 67%. Ini lebih dari negara lain manapun.

Sementara gas hanya dipakai sekitar 7%. Saat ini, 32 dari 56 reaktor nuklir Prancis, ditutup untuk perawatan biasa dan, dalam beberapa kasus, perbaikan karena masalah korosi.

Inflasi

Sejatinya, inflasi di Prancis tidak setinggi negara-negara Eropa lainnya yang telah menyentuh dua digit. Tetapi tetap saja membebani warganya.

Pada September 2022 inflasi tahunan Prancis 'hanya' 5,7% (year-on-year/yoy), turun dari bulan sebelumnya sebesar 5,9% (yoy). Inflasi tersebut masih belum jauh dari level tertinggi sejak Juli 1985, yang dicapai pada Juli lalu sebesar 6,1%.

Adapun, kenaikan harga energi juga melandai dari 22,7% menjadi 17,8%. Begitu juga dengan jasa yang kenaikannya melandai dari 3,9% menjadi 3,2%.

Sementara itu, secara bulanan (month-to-month/mtm) terjadi deflasi sebesar 0,5%, berbalik dari inflasi 0,5% (mtm) pada Agustus 2022. Deflasi itu pun lebih besar dari ekspektasi para ekonom yang memproyeksikan deflasi 0,1%.

Menteri Keuangan Prancis Bruno Le Maire memang sempat menegaskan bahwa pengendalian inflasi adalah prioritas utama untuk anggaran 2023. Ini diwujudkan dengan menganggarkan 45 miliar euro tahun depan untuk membatasi kenaikan harga gas dan listrik sebesar 15%.

Namun ada yang luput. Ini soal pengendalian harga bahan bakar pangan, dan sektor lainnya.

Inilah akar yang menyebabkan terjadinya pemogokan dan demonstrasi besar-besaran dengan teriakan "inflasi" di Prancis. Perlu diketahui pula, demo besar-besaran selain pegawai kilang minyak, juga sedang terjadi di Prancis sejak Selasa kemarin, melibatkan pekerja dari transportasi, hingga kesehatan.

Halaman 3>>

Ekonomi Jerman diyakini akan jatuh ke jurang resesi tahun depan. Ekonomi terbesar di Eropa yang baru pulih dari pandemi Covid-19, akan kembali menyusut sebagai dampak invasi Rusia ke Ukraina.

Dalam pernyataannya, Menteri Ekonomi Robert Habeck menyebut ekonomi akan berkontrasi alias minus (-) 0,4% di 2021. Inflasi akan menyentuh 7%.

"Krisis energi yang serius," katanya dikutip AFP. "Ini mengancam menjadi krisis ekonomi dan sosial," tegasnya lagi.

Perlu diketahui Jerman sangat bergantung ke pasokan gas Rusia, hingga 55%. Namun kini tersendat karena mahalnya harga dan "pembatasan" yang dilakukan Kremlin.

Untuk melindungi konsumen dan bisnis, pemerintah telah meluncurkan dana 200 miliar euro. Ini untuk menjaga membatasi biaya energi.

Meski demikian, ekonomi ekonomi Jerman masih akan mencatat pertumbuhan 1,4% pada tahun 2022. Apalagi rebound pasca pandemi rempat kejadian di awal tahun.

Selain Jerman, Dana Moneter Internasional (IMF) juga meyakini Italia pun akan bernasib sama. Italia akan berkontraksi 0,2% di 2023.

"Jerman dan Italia akan tergelincir ke dalam resesi tahun depan, menjadi ekonomi maju pertama yang mengalami kontraksi setelah invasi Rusia ke Ukraina," tulis IMF dalam pembaruan World Economic Outlooknya kemarin.

Di kesempatan yang sama, IMF juga menurunkan perkiraannya di 2023 karena negara-negara masih bergulat dengan dampak dari serangan Rusia ke Ukraina, meningkatnya biaya hidup dan penurunan ekonomi. PDB global 2023 menjadi 2,7%, ini turun 0,2 poin dari ekspektasi Juli.

Ini merupakan profil pertumbuhan terlemah sejak 2001. Sementara perkiraan pertumbuhan dunia untuk tahun ini tetap tidak berubah pada 3,2%.


(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ramai-Ramai Demo Besar Guncang Negara Eropa, Ada Krisis Apa?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular