
Mantan Menkeu & Gubernur BI Bicara Soal Resesi, RI Bisa Kena?

Jakarta, CNBC Indonesia - Mantan Menteri Keuangan M. Chatib Basri dan mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo duduk bersama dalam SOE International Conference: Investor Day.
Dalam acara yang dilaksanakan di Bali, Selasa (18/10/2022), keduanya membahas ketidakpastian ekonomi global dan risiko resesi.
Keduanya juga membagikan pandangan terkait risiko resesi terhadap Indonesia dan langkah apa yang harus dilakukan pemerintah.
Agus Martowardojo membagikan lima risiko yang muncul akibat ketidakpastian atau kegelapan ekonomi global.
Agus yang kini menjabat sebagai Komisaris Utama Bank Nasional Indonesia (BNI) mengungkapkan bahwa ketidakpastian semakin meningkat dan kondisi tersebut sulit diukur.
Pertama, akselerasi inflasi akan diikuti oleh pelambatan atau bahkan kontraksi pertumbuhan ekonomi.
"Resesi yang dangkal tetapi panjang," ujar Agus dalam paparannya di SOE International Conference: Investor Day, Selasa (18/10/2022).
Kedua, kondisi keuangan global akan mengetat karena bank sentral berada dalam posisi sulit untuk mengatasi inflasi. Bahkan, Agus melihat pengetatan moneter bisa berlangsung cukup panjan, sementara pertumbuhan sudah berada dalam kondisi yang terancam penurunan.
Ketiga, dolar AS akan terus menguat di skala global karena the Fed akan terus menaikkan suku bunga secara cepat. Keempat, stimulus fiskal akan terbatas. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan ruang fiskal.
Kelima, lunturnya kerja sama global akan membuat krisis saat ini lebih buruk dibandingkan resesi 2008.
"China saat ini dalam kondisi yang lemah untuk menjadi penopang dalam menghadapi resesi global," kata Agus.
Dari risiko-risiko ini, Agus melihat sejumlah tantangan bagi negara berkembang a.l. capital outflow, gejolak nilai tukar dan pengetatan kondisi keuangan global.
Menurut Agus, negara dengan kebijakan yang kuat memiliki posisi yang lebih baik untuk menghadapi risiko dan dampak dari pengetatan ini.
Dia meyakini stabilitas pasar domestik Indonesia telah terbukti kuat sejauh ini.
Pertama, Agus mengungkapkan Indonesia memiliki pertumbuhan transaksi berjalan yang kuat pada saat ini dibandingkan 2013 ketika defisitnya mencapai 3,72%.
Kedua, cadangan devisa Indonesia lebih tinggi dan ketiga, inflasi yang stabil dan relatif rendah. Keempat, rendahnya utang valas publik.
Kelima, rendahnya kepemilikan asing dalam surat utang negara (SUN). Terakhir, kondisi perbankan sehat yang ditandai dengan risiko terkendali dan likuiditas mencukupi.
Sementara itu, Chatib Basri yakin dirinya tidak melihat kemungkinan resesi bagi Indonesia.
"Kemungkinan resesi sangat kecil bagi Indonesia. Resesi berarti pertumbuhan negatif. Saya tidak melihat Indonesia mengalami pertumbuhan negatif," ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Terbukti, menurutnya, lembaga dunia masih melihat pertumbuhan positif untuk Indonesia tahun depan.
"IMF, World Bank, mereka masih menaruh proyeksi untuk Indonesia sebesar 5%."
Sementara itu, mengutip proyeksi Bank Mandiri, Chatib memperkirakan pertumbuhan Indonesia akan mencapai 4,9%.
Adapun, skenario terburuknya Indonesia bisa tumbuh 4% tahun depan.
Dengan situasi ini, dia mengingatkan agar semua pihak mempersiapkan untuk yang terburuk, tetapi tetap optimistis.
Pasalnya, tegas Chatib, kemungkinan resesi sangat kecil. Dia berharap masyarakat tetap melakukan belanja untuk menopang ekonomi.
Satu-satunya harapan untuk memperkuat ekonomi ke depannya adalah melalui konsumsi, mengingat ruang fiskal terbatas dan tertekannya sektor swasta.
"Jadi harapan satu-satunya adalah konsumsi masyarakat. Jika konsumsi bisa berjalan yang menyumbang 50% dari PDB Indonesia, maka kita bisa menjaga pertumbuhan yang relatif kuat ini," ujar Chatib yang kini menjabat sebagai komisaris utama Bank Mandiri.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ini Harapan Satu-satunya RI Jika (Amit-amit) Resesi Datang