
Babak Belur Dihajar Krisis Energi, Eropa Hanya Bisa 'Pasrah'

Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis energi masih akan terus menghantui Eropa. Meski pemerintah Benua Biru telah mengambil langkah-langkah dukungan energi, beberapa pejabat menyebut kebijakan dukungan itu akan sulit dilakukan.
Berbicara di sela-sela pertemuan IMF dan Bank Dunia di Washington, seorang pejabat senior zona euro mengatakan tekanan politik untuk memuaskan pemilih dalam menghadapi melonjaknya harga energi lebih kuat daripada perhitungan makroekonomi. Ini kemudian menyulitkan implementasi kebijakan fiskal dan moneter.
"Jika sekitar dua pertiga inflasi berasal dari kejutan pasokan energi eksternal, bukan dari permintaan yang berlebihan, akankah pengetatan kebijakan fiskal menyelesaikannya? Tidak," kata seorang pejabat senior zona Euro, dikutip Reuters Senin (17/10/2022).
"Bagi politisi ini adalah situasi yang sangat sulit, tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana merekonsiliasi aspek kebijakan moneter dan fiskal dan, pada akhirnya, semua orang melakukan apa yang harus mereka lakukan untuk melindungi pemilih mereka."
Eropa sendiri mengalami inflasi yang tinggi dimotori oleh krisis energi. Krisis ini disebabkan kelangkaan bahan bakar yang juga menaikan harga energi akibat embargo Eropa atas pasokan dari Rusia sebagai penentangan atas aksi Moskow di Ukraina.
Komisaris Ekonomi Uni Eropa (UE), Paolo Gentiloni, pada September lalu mengatakan stimulus ekonomi yang diberikan oleh para pemimpin terkadang justru memperparah inflasi yang saat ini sedang diperangi.
"Saya tahu ini sangat sulit karena ketika Anda memperkenalkan suatu ukuran, kecenderungan untuk meninggalkannya tidak dapat dihindari dan sulit untuk membatasi dukungan Anda pada kelompok-kelompok tertentu," katanya.
Seorang pejabat lainnya mengatakan saat ini Eropa sedang berusaha untuk mengambil tindakan "bertarget dan sementara". Namun, istilah ini masih diperdebatkan para menteri keuangan zona Euro.
"Menargetkan bisa berarti menargetkan yang termiskin di masyarakat, tetapi bisa juga berarti menargetkan akar masalah, yang berarti harga energi tinggi," kata pejabat itu.
"Sementara juga rumit. Jika Anda menaikkan upah minimum atau kesejahteraan untuk membantu yang paling miskin, itu akan tetap seperti itu," tambahnya.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Krisis Energi Eropa Makin Ngeri, 5 Negara "Teriak"