Kebijakan Ini Dinilai Jadi Biang Kerok Krisis Energi Global

Khoirul Anam, CNBC Indonesia
Senin, 17/10/2022 10:39 WIB
Foto: Infografis/ Eropa Makin Ngeri, 5 Negara Sudah 'Teriak' Krisis Energi / Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia- Pemerintah barat mendapat kritikan keras terkait krisis energi di dunia saat ini. CEO perusahaan energi Chevron Mike Wirth mengungkapkan kondisi telah diperburuk dengan adanya transisi energi hijau. Menurut dia, hal ini akan menyebabkan lebih banyak volatilitas, lebih banyak ketidakpastian, dan lebih banyak kekacauan.

"Jika orang ingin berhenti mengemudi, berhenti terbang. Itu pilihan masyarakat. Saya tidak berpikir kebanyakan orang ingin mundur dalam hal kualitas hidup mereka, produk kami memungkinkan itu," ungkap diadilansir dari Oilprice.com, Senin (17/10/2022).

Dia menegaskan bahwa transisi energi dari bahan bakar fosil ke energi hijau sangat prematur, sehingga memicu konsekuensi yang tidak diinginkan, seperti masalah pasokan energi yang sudah tersebar luas di Eropa dan muncul di California.


Wirth melanjutkan bahwa meskipun energi terbarukan banyak diinvestasikan oleh pemerintah Barat selama dua dekade terakhir untuk mendekarbonisasi jaringan, pada kenyataannya persentase bahan bakar fosil masih yang besar untuk pembangkit listrik.

"Percakapan (tentang energi) di negara maju pasti telah condong ke iklim, mengambil keterjangkauan dan keamanan begitu saja. Kenyataannya, (bahan bakar fosil) adalah apa yang menjalankan dunia saat ini. Ini akan menjalankan dunia besok dan lima tahun dari sekarang, 10 tahun dari sekarang, 20 tahun dari sekarang," tegas Wirth.

Lebih jauh pungkasnya, minimnya investasi yang sudah terjadi selama bertahun-tahun sebelum adanya invasi Rusia telah menyebabkan krisis energi global. Hal ini mendorong kapasitas cadangan negara-negara penghasil minyak semakin terbatas.

Kondisi tersebut dinilai tidak sesuai dan menggambarkan terjadinya risiko karena berpindah dari sistem yang membuat dunia berfungsi secara agresif saat ini ke sistem lain, dengan mematikan nuklir, mematikan batu bara,mengabaikanminyak dan gas.

Terlebih tambahnya, bahwa krisis energi diperburuk juga oleh bank-bank Wall Street, perusahaan teknologi besar, elit perusahaan, dan organisasi progresif lainnya, seperti The World Economic Forum, yang telah bekerja sama untuk mendorong agenda energi hijau.

"Ini adalah dilema bagi pemerintahan yang telah memasuki kantor dengan agenda yang sangat jelas, untuk mempersulit industri kami dalam memberikan energi kepada pelanggan kami," tegas dia.

"Apa yang menjadi bukti setelah perang di Ukraina dan gangguan pada pasar energi global adalah bahwa negara-negara yang dengan cepat meningkatkan investasi dalam energi hijau dan pembangkit listrik bahan bakar fosil yang dinonaktifkan paling menderita.Jerman adalah contoh utama," pungkas dia.


(dpu/dpu)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Presiden Prabowo Subianto Resmikan Proyek EBT Senilai Rp 25 T