
Hilirisasi Nikel, Sokong RI Jadi 'Raja' Baterai Listrik Dunia

Membangun Pabrik
Sementara, IBC membeberkan pihaknya tengah membangun pabrik baterai kendaraan listrik di wilayah Karawang, Jawa Barat. Pabrik itu hasil kerja sama dengan konsorsium asal Korea Selatan, LG Energy Solution dan Hyundai Motor Group. Pabrik digadang-gadang akan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara.
Direktur IBC Toto Nugroho mengatakan pabrik tersebut akan memulai produksi pertama pada 2024 mendatang. Hasil produksi baterai dari Karawang rencananya akan diserap oleh Hyundai. "Di 2024 pabrik LG yang diproduksi dengan Hyundai dan nanti kerja sama dengan kami ini pabrik EV terbesar di Asean," kata dia dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII, Senin (19/9/2022).
Toto menargetkan kapasitas produksi baterai di pabrik tersebut dapat mencapai 10 Giga Watt hour (GWh) pada 2024. Meski demikian, periode yang paling penting bagi RI yakni antara 2025-2026, di mana pada tahun tersebut Indonesia bakal memproduksi baterai secara massal dengan bahan baku nikel dari dalam negeri.
"Salah satu manfaat dari proses ini adalah transisi energi. Bisa dilihat di sini kalau kita konversi hampir target 30% di 2030 bahwa kita secara potensi bisa menurunkan hampir 30 juta barel per tahun dari impor. Dengan harga sekarang hampir mendekati angka US$ 5-6 miliar per tahun," katanya.
Namun, Toto menyadari cita-cita untuk menjadi 'raja' baterai EV tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Mengingat, Indonesia harus mengimpor beberapa bahan baku untuk pembuatan baterai, salah satunya seperti lithium.
Menurut Toto sekalipun RI kaya raya akan cadangan nikel yang melimpah, namun hal itu belum cukup menjadikan RI sebagai "raja" baterai dunia. Pasalnya, terdapat dua komponen bahan baku baterai yang tidak dimiliki RI, diantaranya seperti material lithium dan graphite.
"Di Indonesia kita kaya dengan nikel, namun ada dua komponen utama yang harus kita impor. Pertama adalah lithium, kedua adalah baterai untuk anoda-nya, bahannya itu kayak graphite. Katoda itu terdiri dari 80% oleh nikel, 10% lithium, 10% dari kobalt atau mangan," ungkap Toto.
IBC, kata Toto juga tengah mengupayakan pengembangan teknologi pembuatan baterai listrik tanpa komponen lithium. Dengan begitu, Indonesia tidak lagi bergantung pada bahan baku impor.
"Ini riset kita lakukan bagaimana kita tidak tergantung lithium-nya atau kobalt ataupun dari graphite-nya," kata dia.
Membidik Tambang Luar Negeri
Direktur Hubungan Kelembagaan MIND ID Dany Amrul Ichdan menjelaskan komponen bahan baku baterai kendaraan listrik 80% terdiri dari bijih nikel. Namun demikian, 20% bahan baku untuk pembuatan baterai masih bergantung pada negara lain, seperti China, Chile, dan Australia.
Oleh sebab itu, diperlukan peta jalan kemandirian dalam industri baterai terintegrasi. Sehingga ketergantungan terhadap barang impor bisa dikurangi meskipun jumlahnya hanya 20%.
"Apakah kita melakukan aksi korporasi untuk mengambil tambang lithium di luar negeri ataukah seperti apa, IBC sedang membuat peta jalan, paling tidak ketergantungan impor ini dikurangi," kata dia.
Ia merinci bahan baku seperti lithium yang selama ini diimpor misalnya, kebutuhannya mencapai 70 ribu ton per tahun. Sedangkan kebutuhan bahan baku baterai berupa graphite mencapai 44 ribu ton per tahun.
Sementara, bahan baku seperti mangan sulfat dan kobalt, kebutuhan masing-masing mencapai 12 ribu ton per tahun. "Dan ini masih impor. Jadi 20% selain nikel kita masih impor," tutup Dany.
(pgr/pgr)[Gambas:Video CNBC]
