Pengusaha Klaim Larangan Ekspor Timah Tak Sama dengan Nikel
Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan Pemerintah Indonesia akan menghentikan ekspor timah mulai tahun depan.
Bahlil menyebut, pelarangan ekspor timah ini agar hilirisasi timah di dalam negeri semakin berkembang, sehingga nilai tambah ada di dalam negeri. Apalagi, Indonesia merupakan pemilik sumber daya dan juga produsen timah terbesar kedua di dunia, setelah China.
"Kalau timah kemungkinan besar tahun depan udah tidak lagi kita melakukan ekspor mentah karena kita akan melakukan hilirisasi," terang Bahlil saat ditemui, Selasa (11/10/2022).
Namun demikian, Ketua Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) Jabin Sufianto menilai bahwa ekspor timah saat ini tidak bisa disamakan dengan pelarangan ekspor nikel sejak awal 2020 lalu.
Jabin menyebutkan, kisah sukses pelarangan ekspor bijih nikel RI karena setiap ekspor 1 ton bijih nikel, kandungan logam nikelnya hanya 2%. Hal ini berbeda dengan timah di mana setiap ekspor 1 ton timah, kandungan logam timah ingot (Sn) sudah mencapai 99,99%.
"Padahal kami sudah produk final di Minerba (Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara). Ini juga yang mengatakan salah satunya adalah staf di Minerba. Kami sudah 99,99% timah SN-nya ya, kadarnya. Jadi gak bisa disamakan dengan success story-nya nikel," papar Jabin dalam program Mining Zone CNBC Indonesia, dikutip Kamis (13/10/2022).
Jabin pun menilai justru komoditas nikel yang seharusnya mengejar timah. Pasalnya, menurutnya timah yang dihasilkan sudah melalui uji syarat yang tertulis dalam Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).
"Padahal di pasal mananya dibilang tentang hilirisasi dibilang 3 tahun untuk mineral tertentu? Tapi ada satu pasal itu adalah nilai tambah oke. Kita ngomongin nilai tambah, nilai tambah mana yang mau dikejar? Soalnya kami, menurut saya, di ranah ESDM kami sudah final," tandasnya.
Sebelumnya, Bahlil Lahadalia menyebutkan penghasil timah terbesar pertama di dunia saat ini adalah China. Dia mengatakan, Negeri Tirai Bambu tersebut sudah melakukan hilirisasi sebesar 50%-70%. Bila dibandingkan dengan Indonesia, hilirisasi yang dilakukan baru mencapai 5%. Akibatnya, Indonesia tak bisa berperan sebagai penentu harga timah dunia.
"Lebih ironis lagi, harga timah dikendalikan oleh negara bukan penghasil timah, ini lucu, ajaib, ini teori bin Abu Nawas, yang tidak kita tolerir untuk ke depan dan kita harus mulai (hilirisasi)," tandas Bahlil.
(wia)