Bisakah Upah Naik 13% Tahun Depan, Begini Aturannya

Damiana Cut Emeria, CNBC Indonesia
Rabu, 12/10/2022 17:25 WIB
Foto: Massa buruh dari Partai Buruh menggelar aksi di depan Patung kuda, Jakarta, Rabu, (12/10/2022). Ada 6 tuntutan yang disuarakan dalam aksinya Di antaranya tolak kenaikan BBM dan PHK. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengusaha menilai tuntutan buruh agar upah tahun 2023 naik 13% tidak masuk akal. Apalagi, jika dikembalikan pada ketentuan dalam Peraturan pemerintah (PP) No 36/2021 tentang Pengupahan.

"Kita dudukkan dulu akar masalahnya. Kita negara hukum dan investasi butuh kepastian hukum. Sudah ada Undang-Undang (UU) No 11/2020 tentang Cipta Kerja, lalu ada PP No 36/2021. Mau naik atau turun, ada ketentuannya, kita ikuti peraturan yang ada," kata Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri kepada CNBC Indonesia, Rabu (12/10/2022).

"Aturan itu menggunakan inflasi atau pertumbuhan ekonomi, dan sekarang memang inflasi sedang tinggi. Tapi nggak sampai 13%. Jadi bukan soal naik atau tidak, dan balik lagi, harus reasonable. Kalau menuntut naik 13%, rasanya tidak masuk akal," tambahnya.


Apalagi, dia menambahkan, saat ini kondisi perekonomian tengah menghadapi ketidakpastian.

Dia pun mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengkhawatirkan kondisi tahun 2023 akan 'gelap'.

"Kita menghadapi efek di negara-negara yang mengalami hiperinflasi. Sekarang mulai ada penurunan permintaan global," ujarnya.

Sejak beberapa bulan terakhir, lanjut dia, industri alas kaki nasional tak lagi bicara soal ekspansi. Namun, tengah dikhawatirkan ancaman PHK, meski belum terjadi.

"Intinya, soal upah ini, kita masih menunggu surat edaran, terkait perhitungan BPS yang akan digunakan dalam formula upah sesuai aturannya. Dan, perlu diingat, kondisi dan kemampuan ekonomi masing-masing daerah berbeda," katanya.

"Yang jelas, kita pun tak ingin lagi pembahasan upah ini kembali ke zaman pasca-reformasi. Artinya, kita mundur 20 tahun. Karena itu perlu ada kepastian hukum," kata Firman.

Seperti diketahui, buruh mulai mengajukan tuntutan kenaikan upah untuk tahun 2013. Diikuti dengan aksi demo yang dilakukan hari ini, Rabu (12/10/2022).

Dalam aksi demo tersebut, buruh mengajukan tuntutan diantaranya kenaikan upah tahun 2023 sebesar 13% dan menolak PHK di tengah ancaman resesi ekonomi global.

Dalam keterangannya, Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan, upah tahun 2023 harus naik sebesar 13%, mengacu pada ekspektasi inflasi tahun 2023 sebesar 7-8% dan proyeksi pertumbuhan ekonomi sebesar 4,8%. Jika dijumlahkan, kata dia, total 11,8%. Dengan dasar itu, ujarnya, buruh meminta kenaikan upah 13% sebagai pembulatan dari 11,8%.

"Silahkan saja, namanya juga permintaan, sah-sah saja. Yang jelas, saya baru bicara dengan Dewan Pengupahan, belum ada pembahasan serius soal ini," kata
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Apindo DKI Jakarta Nurjaman kepada CNBC Indonesia, Rabu (12/10/2022).

"Dan, ada komponen yang dijadikan perhitungan sesuai aturan, yaitu pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Ini belum ada gambarannya seperti apa dari BPS. Tetap, sandarannya adalah regulasi, PP No 36/2022, sebagai turunan dari UU Cipta Kerja. Itu rujukannya," tambahnya.

Buruh, imbuh dia, berhak dan wajar mengakukan permintaan, termasuk lewat aksi demo seperti saat ini.

"Tapi, apakah keinginan itu bisa dikabulkan? Kita belum tahu. Intinya, ada PP No 36/2021 untuk acuan regulasi upah minimum. Soal berapa kenaikan memang itu hak dan tergantung perusahaan, sanggup atau nggak? Silahkan saja," tukas Nurjaman.

PP No 36/2021 tentang Pengupahan

Sementara itu, pada PP No 36/2021, ketentuan soal upah minimum diatur dalam Bab V, di mana Bagian Kesatu pasal 23 mendefinisikan upah minimum sebagai upah bulanan terendah, yaitu tanpa tunjangan atau upah pokok dan tunjangan tetap.

"Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum," demikian bunyi pasal 23 ayat (3) PP No 36/2021.

Upah minimum tersebut berlaku bagi pekerja/ buruh dengan masa kerja kurang dari 1 tahun di perusahaan bersangkutan, dan untuk yang lebih dari 1 tahun berpedoman pada struktur dan skala upah.

"Upah minimum terdiri atas (a) upah minimum provinsi (UMP) dan (b) upah minimum kabupaten/ kota dengan syarat tertentu," bunyi pasal 25 ayat (1).

Sementara, ayat (2) dan (3) menetapkan, upah minimum ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan, secara khusus untuk huruf (b) meliputi pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi pada kabupaten/ kota yang bersangkutan.

"Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan dimaksud pada ayat (2) meliputi paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah. Data pertumbuhan ekonomi, inflasi, paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik," pasal 25 ayat (4-5) PP No 36/2021.

Jika mengacu ketentuan tersebut, formula pengupahan diantaranya menggunakan komponen pertumbuhan ekonomi atau inflasi, bukan total dari kedua indikator ekonomi tersebut.

 


(dce/dce)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Buruh Ancam Mogok Massal Jika Pemerintah Diam Soal Impor Ilegal