Internasional

54 Negara Terancam 'Malapetaka' Gegara Utang, RI Termasuk?

News - luc, CNBC Indonesia
12 October 2022 07:30
Residents form a bucket brigade, filling large containers with water provided by a government water truck, in the Petare slum of Caracas, Venezuela, Wednesday, June 10, 2020. Amid water shortages during the COVID-19 pandemic, the government is providing free water to some areas. (AP Photo/Ariana Cubillos) Foto: Krisis Air Bersih Venezuela Ditengah Pandemi AP/Ariana Cubillos

Jakarta, CNBC Indonesia - Puluhan negara saat ini menghadapi krisis utang akut, diperparah oleh kondisi ekonomi global yang kian suram.

Kondisi itu tergambar dalam laporan terbaru Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) yang dirilis Selasa (11/10/2022).

Dalam laporan itu, badan PBB tersebut memperingatkan bahwa lusinan negara berkembang menghadapi krisis utang yang makin dalam dengan cepat dan bahwa "risiko tindakan tindakan yang terlambat sangat mengerikan". Apalagi, lebih dari setengah penduduk miskin dunia kini berada di negara yang tercekik oleh utang.

UNDP mengatakan tanpa bantuan segera, setidaknya 54 negara akan mengalami peningkatan tingkat kemiskinan, dan investasi yang sangat dibutuhkan dalam adaptasi dan mitigasi iklim tidak akan terjadi.

Hal itu kian mengkhawatirkan karena negara-negara yang terkena dampak adalah di antara yang paling rentan terhadap iklim di dunia.

Laporan badan tersebut, yang diterbitkan menjelang pertemuan Dana Moneter Internasional, Bank Dunia, dan juga para menteri keuangan G20 di Washington, menyoroti perlunya tindakan cepat.

Kepala UNDP Achim Steiner mengatakan kendati peringatan tersebut telah disampaikan berulang-ulang, hanya sedikit tindakan yang telah dilakukan dan risikonya telah meningkat.

"Krisis itu makin intensif dan mengancam akan meluas ke krisis pembangunan yang mengakar di puluhan negara di seluruh dunia," katanya, dikutip dari AFP.

Negara-negara miskin yang berutang menghadapi tekanan ekonomi yang konvergen dan banyak yang merasa tidak mungkin untuk membayar kembali utang mereka atau mengakses pembiayaan baru.

"Kondisi pasar berubah dengan cepat karena kontraksi fiskal dan moneter yang sinkron dan pertumbuhan yang rendah memicu volatilitas di seluruh dunia," kata UNDP.

Badan PBB itu juga mengatakan masalah utang telah muncul di banyak negara yang terkena dampak jauh sebelum pandemi Covid-19 melanda.

"Penumpukan utang yang cepat selama dekade terakhir secara konsisten diremehkan," katanya.

Adapun, penangguhan pembayaran utang selama pandemi Covid-19 untuk meringankan beban mereka telah berakhir. Tak hanya itu, negosiasi di bawah Kerangka Umum G20 yang dibuat selama pandemi untuk membantu negara-negara yang berutang besar menemukan jalan untuk merestrukturisasi kewajiban mereka telah bergerak dengan sangat lambat.

Menurut laporan UNDP, 46 dari 54 negara telah mengumpulkan utang publik dengan total US$ 782 miliar pada 2020.

Argentina, Ukraina dan Venezuela sendiri menyumbang lebih dari sepertiga dari jumlah itu.

Situasi memburuk dengan cepat, dengan 19 negara berkembang sekarang secara efektif menutup pasar pinjaman, 10 lebih banyak dari pada awal tahun.

Sementara itu, kepala ekonom UNDP George Gray Molina mengatakan sepertiga dari semua negara berkembang diberi label sebagai "risiko substansial, sangat spekulatif, atau gagal bayar".

Negara-negara yang paling berisiko langsung adalah Sri Lanka, Pakistan, Tunisia, Chad, dan Zambia, katanya.

Lalu Bagaimana dengan Indonesia?

Dalam laporan tersebut, Indonesia tidak termasuk dalam 54 negara paling berisiko karena utang.

Molina mengatakan kreditur swasta sejauh ini menjadi kendala terbesar untuk bergerak maju dengan restrukturisasi yang diperlukan.

Namun, dia menyarankan bahwa kondisi pasar saat ini dapat membuka jalan bagi kesepakatan utang, karena kreditur swasta melihat nilai kepemilikan mereka anjlok hingga 60%.

"Ketika obligasi pasar berkembang diperdagangkan pada 40 sen dolar, kreditor swasta tiba-tiba menjadi lebih terbuka untuk negosiasi," katanya.

"Insentifnya adalah sekarang bergabung dengan negosiasi di mana Anda mungkin menerima potongan harga 20 sen dolar, 15 sen dolar, dan 30 sen dolar."

Namun, Molina mengakui kreditur yang bersedia tidak cukup untuk benar-benar mencapai kesepakatan keringanan utang yang sangat dibutuhkan.

"Bahan yang hilang saat ini adalah jaminan keuangan dari pemerintah kreditur utama untuk mencapai kesepakatan."

Adapun, Steiner, yang telah berulang kali memperingatkan tentang krisis tersebut, menyuarakan harapan bahwa komunitas internasional akhirnya dapat menyadari tindakan yang diambil adalah kepentingan bersama semua orang.

"Pencegahan lebih baik daripada pengobatan dan tentu saja... jauh, jauh lebih murah daripada harus menghadapi resesi global," katanya.


[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya

Pak Jokowi Benar, Banyak Negara Kini Jatuh ke Krisis Utang!


(luc/luc)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading