
Dunia Bakal Resesi, APBN Jangan Sampai Habis Buat 'Entertain'

Jakarta, CNBC Indonesia - Gunjang-ganjing ekonomi global dapat berdampak negatif kepada semua negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Jika sebelumnya Indonesia mendapatkan 'durian runtuh' dari kenaikan harga komoditas global akibat kenaikan permintaan akan batu bara, CPO, nikel, gas dan lainnya, di tengah perang Ukraina dan Rusia. Tahun depan, bisa dipastikan, efek durian runtuh tersebut akan habis karena tekanan resesi yang melemahkan permintaan atas komoditas andalan Indonesia, termasuk CPO dan batu bara.
Mantan menteri keuangan yang juga ekonom senior dari Universitas Indonesia M. Chatib Basri mengungkapkan kondisi yang akan dihadapi Indonesia tahun depat lumayan berat, terutama dari sisi fiskal.
"Windfall profit akan hilang, bayangkan pajak tidak akan setinggi yang saya bilang sebelumnya," kata Chatib dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, dikutip Senin (10/10/2022).
Hingga 31 Agustus 2022, penerimaan pajak tercatat sebesar Rp 1.171,8 triliun atau telah mencapai 78,9 persen dari target Rp 1.485 triliun pada tahun ini.
Pertumbuhan kuat ini diproyeksi akan kendur. Di sisi lain, pada tahun 2023, pemerintah dihadapkan dengan target untuk menurunkan defisit APBN ke kisaran di bawah 3%. Alhasil, lanjut Chatib, pemerintah harus memangkas belanja lebih banyak.
Langkah ini akan berdampak berat bagi ekonomi Indonesia, terlebih lagi di tengah suasana eksternal yang melemah dan pengetatan kebijakan moneter.
"Defisitnya harus di bawah 3%, berarti spending-nya harus di-cut lebih banyak. Kalau spending cut lebih banyak, eksternalnya drop, moneternya tight, fiskalnya kontraksi lebih dalam. Efeknya lebih dalam," papar Chatib.
Dia menilai pemerintah tidak bisa mengandalkan sektor swasta untuk tumbuh. Swasta tidak memiliki ruang cukup di tengah kenaikan suku bunga dan adanya efek neraca (balance sheet) dari penguatan dolar AS.
Dengan demikian, sumber pertumbuhan di dalam negeri akan nihil. "Gak ada source of growth sama sekali. Ini kalau menurut saya, gak ada ruang," kata Chatib.
Fiskal yang biasanya menjadi andalan pun tidak bisa berbuat banyak. Chatib menegaskan pemerintah harus berani memilih prioritas, antara anggaran yang perlu dan sekedar 'ingin' saja. Untuk proyek yang diinginkan, dia menilai pemerintah bisa menundanya.
"Prioritas penting pemerintah itu harus memisahkan mana 'yang harus' dan mana 'yang ingin'. Kita gak punya ruang entertain 'yang ingin'. Bayangin kalau revenue turun atau tidak setinggi tahun lalu. Kemudian, defisit diturunkan, berarti kan itu alokasi dari budget jadi ketat," ujar Chatib.
"Misalnya saya kasih contoh, pertahanan harus sekarang gak sih? Saya tahu itu penting, tapi harus sekarang gak? Infrastruktur mana yang harus dibangun segera. Itu yang dikasih prioritas."
Selanjutnya, dia mengungkapkan ada anggaran yang penting dan tidak bisa ditunda pemerintah dalam kondisi penuh tantangan.
"Yang tidak bisa ditunda adalah protection to vulnerable groups, gak bisa engga karena efek dari harga pasti akan mukul. Kepada kelompok, bukan hanya poor, tapi rentan. Itu menurut saya harus prioritas," ujarnya.
Dia yakin Kementerian Keuangan punya daftar prioritas.
"Ini sama seperti di rumah tangga kita, duit lagi enggak ada kita harus eman-eman mana yang dibelanjain mana yang tidak. Sama mengelolanya kaya gitu," lanjut Chatib.
Idealnya, penerimaan pajak dapat menopang pendapatan negara. Namun di saat ketidakpastian tinggi, menaikkan penerimaan pajak tidak tepat.
Ada pilihan yang bisa dilakukan pemerintah, kata Chatib. Akan tetapi, dia memperkirakan dunia usaha akan tidak senang. Pilihan tersebut adalah mengkaji ulang insentif pajak yang telah diberikan pemerintah.
Dari catatan CNBC Indonesia, rata-rata belanja perpajakan 1,45%-1,62% dari PDB tiap tahunnya. Chatib mempertanyakan dampak belanja pajak yang besar kepada pertumbuhan ekonomi.
"Itu memang benar insentif pajak dikasih, ada dampaknya? Growth kita begitu-begitu aja tuh," paparnya.
"Itu harus di-review karena kita seperti tukang obat kaki lima, ada apa-apa sebentar-bentar insentif pajak gitu. Sudah saatnya di-review," tegasnya.
Terkait dengan kenaikan harga BBM Solar dan Pertalite, Chatib melihat ini adalah langkah yang harus diambil. Jika tidak, maka anggaran akan jebol. Namun, di sisi lain, kenaikan harga BBM tidak serta merta memberikan ruang fiskal. Ini dilakukan agar anggaran subsidi tidak melebihi batasan Rp650 triliun.
"Intinya adalah expenditure review, review spending dan penerimaan. Saya yakin teman-teman di kementerian keuangan ngerti, cuma sekarang tidak gampang untuk berkata tidak, tanpa perlu dimusuhin orang," pungkas Chatib.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah berpesan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk eman-eman APBN.
"Saya selalu sampaikan kepada Bu Menteri Keuangan. Bu, kalau punya uang di APBN kita, dieman-eman. Itu Bahasa Inggris dieman-eman, dijaga, hati-hati," kata Jokowi dalam UOB Economic Outlook 2023, dikutip Senin (10/10/2022)
Dia berharap Menteri Keuangan mengeluarkan anggaran untuk hal yang produktif dan harus memunculkan return yang jelas. Hal ini dikarenakan kontraksi ekonomi yang terjadi di banyak negara saat ini.
Menurutnya, semua negara berada pada posisi sulit untuk memprediksi arah ekonomi ke depan.
"Arahnya seperti apa? Pemulihan seperti apa? Satu masalah muncul belum selesai, muncul masalah yang lain dan efek domino ini, semua menyampaikan sulit dihitung," ujar Jokowi.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Eks Menkeu Bikin Ramalan Jitu Soal Korporasi RI, Ini Buktinya