Tak Cuma Jokowi, Masalah Ini Ternyata Bikin Takut Pengusaha
Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi September mencapai 1,17% dibandingkan Agustus 2022 dan 5,95% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Kalangan pengusaha mengungkapkan bahwa inflasi berpotensi sulit terbendung nantinya. Masalah inflasi sudah diakui oleh Presiden Jokowi sebagai momok yang menakutkan.
"Soal urusan inflasi ke depan susah dikontrol. Demi menstabilkan inflasi kebijakan jangan diubah-ubah. Misalnya tahu-tahu kaya kenaikan BBM, inflasi kena di sana-sini," kata Anggota komite industri Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Achmad Widjaja kepada CNBC Indonesia, Jumat (7/10/22).
Kestabilan inflasi hanya bisa terjadi jika kebijaksanaan dan kebijakan tidak sering berubah. Ia menyebut tidak ada cara lainnya selain dari pengambil kebijakan atau pemerintah sendiri.
"Dunia usaha melihat inflasi bisa dikontrol? Memang bisa, tapi jangan ubah-ubah kebijakan, karena demi menjaga stabilitas harus punya konsistensi dalam kebijakan. Kebijakan berubah, inflasi berubah, tergoyang. Jangan tahu-tahu ekspor batu bara, CPO distop lah, kan inflasi," sebut Achmad Widjaja.
Akibatnya harga CPO naik kala itu, minyak goreng tercatat masih jadi penyumbang inflasi di Indonesia. Bank Indonesia mencatat inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Januari 2022 tercatat sebesar 0,56% (mtm) atau 2,18% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi bulan sebelumnya sebesar 1,87% (yoy).
Kondisi serupa juga terjadi kala pemerintah menaikkan harga BBM. Akibat kenaikan BBM, harga kebutuhan pokok terus mengalami kenaikan. Selain masyarakat, industri juga berat menanggung bebannya, terutama di industri sekunder yakni pabrikan pengolahan seperti makanan-minuman, manufaktur dan lainnya.
"Industri tersier selalu menjadi korban, kenapa? karena intermediate dia di tengah. Dia punya biaya, fix ngga bisa gonta-ganti. selalu kena dampak di dalam pengelolaannya. Begitu harga minyak naik dia kena, tau-tau bunga naik dia kena, PSBB Covid dia kena dampak," kata Achmad Widjaja.
Selain industri pengolahan atau tersier yang berada di tengah, RI juga memiliki industri primer seperti batu bara, CPO, minyak dan gas, dan lainnya. Sementara di industri ketiga adalah jasa, seperti kurir, logistik, ojek online dan sebagainya.
"Pemerintah punya kontrol besar di industri primer, tapi ketika kebijakan di sini berubah, yang tersier dan jasa ini kena efek luar biasa. Inflasi juga makin tinggi, jadi di situ kuncinya, konsistensi kebijakan," kata Achmad Widjaja.
(hoi/hoi)