Awan Gelap Mulai Muncul! AS-UE Resesi, Badai PHK Ancam RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Sekjen Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengungkapkan, gelombang PHK bisa mengancam industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Tanah Air. Pasalnya, kata di, sektor TPT nasional tak hanya ditopang konsumsi domestik, tapi juga pasar ekspor.
Saat ini, menurut Redma, sejumlah perusahaan TPT di Indonesia mulai melakukan efisiensi karyawan. Dengan merumahkan karyawan.
"Sekarang mulai muncul tren merumahkan karyawan. Awalnya di industri garmen, lalu mulai merambah ke kain, ke hulu. Sudah mulai dari bulan lalu," kata Redma kepada CNBC Indonesia, dikutip Jumat (7/10/2022).
"Ekspor lagi susah karena cancel-cancel order dari AS dan Uni Eropa (UE). Kondisi di sana kan memang lagi parah, jadi buyer mulai membatalkan pembelian dari awalnya mengurangi," tambahnya.
Apalagi, lanjut dia, biasanya negara-negara yang memiliki musim dingin, akan lebih mengutamakan belanja energi. Dengan biaya energi yang melonjak sampai 4 kali lipat, ujarnya, akan menambah tantangan bagi ekspor TPT Indonesia.
"Ekspor kita itu sekitar 40% ke AS, lalu ke UE itu 30-35%. Artinya, ke kedua kawasan ini sudah 70%. Sisanya ke Jepang, Turki, Afrika, sedikit ke China. Kondisi di negara-negara ini juga nggak terlalu bagus," katanya.
"Karena itu, sekarang utilitas kita sudah susut ke kisaran 50-60%. Padahal, kita sudah sempat balik 100% di kuartal I dan II begitu pembatasan dicabut. Tapi mulai turun lagi sampai sekarang karena kondisi ekonomi. Mulai dari industri garmen sampai kain, bahkan serat sekarang sudah mulai menurunkan produksi," jelas Redma.
Di sisi lain, dia berharap, keadaan akan bisa berbalik jadi lebih baik memasuki tahun 2023. Karena itu, katanya, perusahaan masih mengambil keputusan merumahkan, belum PHK.
"Karyawan tetap digaji, ya sekitar 80-90%. Jadi belum PHK, tapi dirumahkan. Tapi, bukan tidak mungkin kalau kondisinya lama-lama makin buruk," ujarnya.
Dia mengungkapkan, akibat efek pandemi Covid-19, perusahaan masih mampu membayar upah karyawan dengan maksimal. Setidaknya, selama 8 bulan sejak pandemi memburuk dan 'menghentikan' semua aktivitas ekonomi.
"Kondisi kita membaik di awal tahun ini, sampai tumbuh 12-13% di kuartal I dan II. Tapi, kan itu kondisi kita mulai lagi dari nol. Pendapatan masih minimm tapi tetap baiya-biaya harus dibayar. Cash flow agak bermasalah. Dan sekarang kondisi di pasar ekspor bermasalah," ujarnya.
"Kalau Januari 2023 ada sinyal membaik, kita masih punya data tahanlah setidaknya sampai Februari 2023. Tapi mulai menipis," katanya.
Karena itu, dia meminta pemerintah jangan lagi mengabaikan teriakan pelaku industri TPT.
"Katakanlah memang masalah ekspor rusak karena 'given' ya, nggak bisa kita kendalikan. Tapi, ada yang bisa dikendalikan pemerintah kalau mau tegas," ujar Redma.
"Yaitu, menindak impor yang masuk tanpa bayar pajak. Katanya pemerintah butuh duit sampai naikin BBM, tapi masalah impor separuh nyolong ini sudah bertahun-tahun tapi tak pernah ditindak tegas. Sudah sejak tahun 2015, marak impor separuh nyolong. Nggak tahu kenapa nggak ditindak tegas padahal datanya jelas di depan mata," tukasnya.
Dengan begitu, imbuh dia, industri TPT bisa dengan leluasa semakin memperkuat pangsa pasar di dalam negeri. Artinya, kata dia, meski ekspor terganggu, konsumsi domestik akan bisa membantu.
"Kalau cancel order terus berlanjut, tekanan ekonomi semaki buruk, dan pemerintah nggak mau mengambil tindakan tegas, bukan nggak mungkin tren merumahkan karyawan berlanjut. Dan, yang tadinya bisa bayar upah karyawan 80-90%, lama-lama turun," pungkas Redma.
[Gambas:Video CNBC]
Bocoran Pengusaha Soal PHK Massal, Ini yang Terjadi!
(dce/dce)