Dunia Krisis Energi, RI Kok Sukanya Jor-joran Impor Minyak?

Verda Nano Setiawan, CNBC Indonesia
06 October 2022 14:50
Perahu mengambang di depan terminal penyimpanan minyak VOPAK di Johor, Malaysia 7 November 2017. REUTERS / Henning Gloystein
Foto: REUTERS/Henning Gloystein

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah krisis energi yang melanda beberapa negara di dunia saat ini khususnya karena tersendatnya pasokan gas, ketergantungan Indonesia terhadap produk impor, baik itu minyak maupun Liquefied Petroleum Gas (LPG) masih cukup tinggi. Padahal, Indonesia sebetulnya mempunyai sumber energi yang justru banyak diincar dunia yakni gas alam.

Untuk minyak mentah misalnya, RI mengimpor sekitar 350 ribu barel per hari (bph) dengan asumsi kapasitas kilang Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 1 juta bph, namun produksi minyak mentah hanya sekitar 650 ribu bph.

Adapun untuk impor produk minyak atau BBM, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada 2021 tercatat mencapai 22,09 juta kilo liter (kl), naik dari 20,87 juta kl pada 2020. Pada kondisi 2019 sebelum pandemi Covid-19 melanda, impor BBM malah mencapai 24,72 juta kl.

Sedangkan untuk impor LPG, dalam satu dekade telah menunjukkan peningkatan tiga kali lipat hingga mencapai 6,34 juta ton pada 2021. Adapun porsi impor LPG pada 2021 telah mencapai 74% dari total kebutuhan. Jumlah ini meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan porsi impor LPG pada 2011 yang "hanya" sebesar 46%.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa nilai impor LPG RI pada 2021 mencapai US$ 4,09 miliar atau sekitar Rp 58,5 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per US$), meroket 58,5% dibandingkan nilai impor pada 2020 lalu yang tercatat US$ 2,58 miliar.

Sementara itu, RI memiliki cadangan terbukti (proven reserves) gas alam sebesar 34,64 triliun kaki kubik (TCF), status 31 Desember 2021, berdasarkan data SKK Migas.

Bila digabungkan dengan data cadangan potensial (potential reserves), berdasarkan data Kementerian ESDM status 1 Januari 2021, total cadangan gas RI mencapai 60,61 TCF.

Gas bumi sendiri dapat menggantikan peran minyak melalui program konversi Bahan Bakar Minyak (BBM) ke Bahan Bakar Gas (BBG). Sementara untuk LPG dapat digantikan dengan program jaringan gas kota (jargas) untuk pelanggan rumah tangga.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha menyadari bahwa sumber gas bumi di dalam negeri sebetulnya cukup besar. Namun pemanfaatannya sendiri hingga kini memang belum optimal.

Hal tersebut terjadi karena ada beberapa kendala yang dihadapi. Untuk proyek jargas misalnya, dibutuhkan waktu untuk pembangunan infrastruktur yang merata, adapun saat ini prosesnya sedang berjalan.

"BBM ke BBG sudah dijalankan untuk kendaraan transportasi umum seperti bus. Kendala utamanya belum dibangun secara masif infrastruktur penunjang seperti SPBG," ungkap Satya kepada CNBC Indonesia, Kamis (6/10/2022).

Oleh sebab itu, Satya berharap di samping pemerintah menggenjot ekosistem kendaraan listrik, pemerintah juga dapat kembali menggalakkan program konversi BBM ke BBG. Mengingat, keduanya sebagai upaya untuk menurunkan tingkat ketergantungan terhadap produk impor.

Seperti diketahui, sejumlah negara di dunia, terutama Eropa kini terancam gelap gulita. Pasalnya, negara-negara tersebut menghadapi masalah pasokan energi, terutama tersendatnya pasokan gas dari Rusia. Akibatnya, warga di negara-negara tersebut pun harus rela membayar tagihan listrik lebih mahal atau bahkan terancam pemadaman listrik.

Sejumlah negara terancam gelap gulita tersebut antara lain Yunani, Spanyol, Italia, Jerman, hingga Inggris.

Inggris misalnya, walau pasokan listrik masih tersedia, namun imbasnya warga harus membayar tagihan listrik lebih mahal.

Laporan Money Advice Trust mengungkapkan 20% orang dewasa Inggris atau 10,9 juta orang menunggak tagihan listrik. Jumlah ini naik 3 juta atau sekitar 45% sejak Maret 2022.

Tidak hanya sampai di situ, terdapat 5,6 juta warga telah rela tidak makan dalam tiga bulan terakhir sebagai akibat dari krisis biaya hidup. Jajak pendapat dilakukan ke 2.000 orang dewasa Inggris di Agustus.

Pada Agustus 2022, tingkat inflasi di Inggris masih berada di level 9,9% secara year-on-year. Untuk inflasi inti, yang tidak termasuk energi yang mudah menguap, makanan, alkohol dan tembakau, naik 0,8% secara bulan ke bulan dan 6,3% secara year-on-year.

Regulator energi Inggris mengumumkan akan menaikkan 80% batas utama tagihan listrik ke konsumen pada Oktober 2022. Tagihan listrik akan naik dari sebelumnya 1.971 poundsterling atau Rp 33,24 juta (kurs Rp 16.864) per tahun, rata-rata akan menjadi 3.549 poundsterling atau Rp 59,85 juta per tahun.

Aturan ini mencakup 24 juta rumah tangga. Sebanyak 4,5 juta rumah tangga prabayar juga menghadapi rencana kenaikan dari 2.017 poundsterling menjadi 3.608 poundsterling.

Krisis energi juga telah melanda Yunani. Bahkan, hal ini mendorong kantor parlemen negara itu untuk mematikan seluruh lampu luar dan dalam.

Dalam laporan Anadolu Agency, ini dilakukan agar dapat menjadi contoh bagi warga untuk segera melakukan penghematan energi. Walau begitu, Kepala Parlemen Kostas Tasoulas belum menjabarkan hingga kapan langkah ini akan dilakukan.

"Parlemen Yunani mematikan semua lampu eksterior di gedung sebagai contoh untuk konsumsi energi," kata lembaga itu sejak pertengahan September 2022.

Begitu juga dengan Jerman yang terancam gelap gulita. Karenanya, Negeri Panser terus mengupayakan pengamanan pasokan energi untuk mencegah krisis di negara tersebut.

Berlin mengatakan bahwa pihaknya telah mengambil alih operasi perusahaan Rusia, Rosneft, di Jerman untuk mengamankan pasokan energi yang telah terganggu setelah Moskow menyerang Ukraina.

Kementerian Ekonomi Jerman menyatakan anak perusahaan Rosneft di Jerman, yang menyumbang sekitar 12% dari kapasitas penyulingan minyak di negara itu, ditempatkan di bawah perwalian Federal Network Agency.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Miris! RI Pilih Impor LPG, Padahal Punya Harta Karun Ini

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular